Info
penting nggak penting: Ketika kecil, aku dan Bapak nggak pernah mancing. Ia
sama sekali nggak suka kegiatan mancing. Kami lebih sering naik sepeda ontel keliling
desa. Ya, waktu itu ia belum memiliki motor. Pernah ketika ia masih menjadi
guru honorer, aku diajaknya mengajar, sementara ibu ke ladang. Aku belum
sekolah waktu itu, sehingga ia kasihan melihatku harus terpanggang sinar matahari. Tapi itu hanya bertahan beberapa hari, karena sungguh aku lebih bersuka
cita ikut Ibu ke ladang. Bebas bermain-main di ladang daripada terkungkung ruangan sekolah yang monoton ~
Satu fakta yang sebenarnya malas kuterima, aku dan Bapak itu
mirip secara fisik dan sifat. Kami berdua sama-sama keras kepala dan emosian.
Tapi level emosinya jauh lebih tinggi. Setiap mendengar aku
kesusahan, didera konflik, dia pasti selalu chat seperti ini.
Tak peduli alur ceritanya gimana. Pokoknya aku lebih baik pulang
kampung saja. Prinsipnya; makan nggak makan yang penting kumpul.
Ya sebenarnya wajar sih. Namanya juga orangtua. Cuma karena aku
keras kepala, wacana "aku back to kampung" pun belum terealisasi.
Sejujurnya darahku juga mendidih setiap melihat betapa reaksioner-nya dia. Ada rasa tak terima yang menggebu. Intinya aku ingin bilang "Bapak itu
nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" "Nggak sesederhana itu loh
Pak!"
Rasanya aku ingin teriak sekencangnya
ketika dia tidak paham apa yang aku mau. Aih susah punya kepala yang keras ini.
Namun beberapa detik setelah depresi
mendera, aku akan insyaf dan tersadar. Dia bersikap seperti itu ya semata-mata karena menyayangiku dan tidak ingin
melihatku terluka.
Aku jadi ingin menangis karena sudah
merasa kesal kepadanya. Menyesal sekali. Padahal cuma dia satu-satunya laki-laki
yang mau pontang-panting demi hidupku. Siapa lagi orang yang mau menerimaku apa adanya jika bukan keluarga. Bapak Ibu.
Demi apapun mereka mengutamakan
kebahagiaan dan kesehatanku di atas segalanya. Pernah aku terlibat percakapan dengan Ibu, ketika kondisi fisik dan jiwaku
sedang tidak baik-baik saja. Ia mengatakan sesuatu yang membuatku terenyuh.
"Tidak apa-apa kamu nggak punya
gaji yang besar lagi. Kan kamu masih punya orangtua."
Aku yakin Ibu tulus mengatakannya.
Sangat tulus. Ia menegaskan walau aku bukan siapa-siapa dan tak bisa
menghasilkan apa-apa, kebutuhanku bakal tetap bisa terpenuhi.
Duuhhh, berapa banyak rintik air mata
yang harus turun ketika menyelesaikan tulisan seperti ini coba?
Aku bersyukur telah dipertemukan
dengan banyak manusia. Mengenal dan merasakan perangi mereka. Ada yang berhati
malaikat tanpa sayap, ada pula makhluk yang gemar bikin jumpalitan. Nah jenis seperti
ini biasanya yang sering kudoakan masuk neraka.
Apapun itu, mereka membuatku semakin
sadar bahwa keluarga adalah segalanya. Karena akhirnya, pada keluarga
sebenar-benarnya arah kita pulang. Sebaik-baiknya arti rumah. Setulus-tulusnya
kita diterima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar