Jumat, 21 Februari 2020

Ketika Bapak Meminta Aku Pulang . . .



Info penting nggak penting: Ketika kecil, aku dan Bapak nggak pernah mancing. Ia sama sekali nggak suka  kegiatan mancing. Kami lebih sering naik sepeda ontel keliling desa. Ya, waktu itu ia belum memiliki motor. Pernah ketika ia masih menjadi guru honorer, aku diajaknya mengajar, sementara ibu ke ladang. Aku belum sekolah waktu itu, sehingga ia kasihan melihatku harus terpanggang sinar matahari. Tapi itu hanya bertahan beberapa hari, karena sungguh aku lebih bersuka cita ikut Ibu ke ladang.  Bebas bermain-main di ladang daripada terkungkung ruangan sekolah yang monoton ~

Satu fakta yang sebenarnya malas kuterima, aku dan Bapak itu mirip secara fisik dan sifat. Kami berdua sama-sama keras kepala dan emosian.
Tapi level emosinya jauh lebih tinggi. Setiap mendengar aku kesusahan, didera konflik, dia pasti selalu chat seperti ini.


Tak peduli alur ceritanya gimana. Pokoknya aku lebih baik pulang kampung saja. Prinsipnya; makan nggak makan yang penting kumpul.
Ya sebenarnya wajar sih. Namanya juga orangtua. Cuma karena aku keras kepala, wacana "aku back to kampung" pun belum terealisasi.
Sejujurnya darahku juga mendidih setiap melihat betapa reaksioner-nya dia. Ada rasa tak terima yang menggebu. Intinya aku ingin bilang "Bapak itu nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi!" "Nggak sesederhana itu loh Pak!"
Rasanya aku ingin teriak sekencangnya ketika dia tidak paham apa yang aku mau. Aih susah punya kepala yang keras ini.
Namun beberapa detik setelah depresi mendera, aku akan insyaf dan tersadar. Dia bersikap seperti itu ya semata-mata karena menyayangiku dan tidak ingin melihatku terluka.
Aku jadi ingin menangis karena sudah merasa kesal kepadanya. Menyesal sekali. Padahal cuma dia satu-satunya laki-laki yang mau pontang-panting demi hidupku. Siapa lagi orang yang mau menerimaku apa adanya jika bukan keluarga. Bapak Ibu.
Demi apapun mereka mengutamakan kebahagiaan dan kesehatanku di atas segalanya. Pernah aku terlibat percakapan dengan Ibu, ketika kondisi fisik dan jiwaku sedang tidak baik-baik saja. Ia mengatakan sesuatu yang membuatku terenyuh.
"Tidak apa-apa kamu nggak punya gaji yang besar lagi. Kan kamu masih punya orangtua."
Aku yakin Ibu tulus mengatakannya. Sangat tulus. Ia menegaskan walau aku bukan siapa-siapa dan tak bisa menghasilkan apa-apa, kebutuhanku bakal tetap bisa terpenuhi.
Duuhhh, berapa banyak rintik air mata yang harus turun ketika menyelesaikan tulisan seperti ini coba?
Aku bersyukur telah dipertemukan dengan banyak manusia. Mengenal dan merasakan perangi mereka. Ada yang berhati malaikat tanpa sayap, ada pula makhluk yang gemar bikin jumpalitan. Nah jenis seperti ini biasanya yang sering kudoakan masuk neraka.
Apapun itu, mereka membuatku semakin sadar bahwa keluarga adalah segalanya. Karena akhirnya, pada keluarga sebenar-benarnya arah kita pulang. Sebaik-baiknya arti rumah. Setulus-tulusnya kita diterima.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis