Mbah
Kon, itulah panggilanku dan beberapa saudara yang lain padanya. Ia adalah Ayah
kandung dari Ibuku. Kami tinggal serumah, tak heran jika ikatan emosionalku
benar-benar kuat dibandingkan dengan cucu-cucunya yang lain. Itu yang terkadang
membuat saudara-saudaraku yang lain merasa iri.
Ia
adalah seorang veteran pejuang. Sejak kecil ia selalu bercerita kepadaku
tentang pengalamannya berperang melawan Belanda dan Jepang. Tentang bagaimana gigihnya
perjuangan tentara Indonesia saat bertahan di hutan selama berhari-hari tanpa
makanan.
Kepada
cucunya, ia selalu mengingatkan agar kami tak pernah lupa menghargai jasa para
pahlawan. Mereka dengan ikhlasnya telah berkorban banyak demi kemerdekaan
Indonesia. Tanpa mereka semua sampai sekarang mungkin Indonesia masih menjadi
negara jajahan Belanda atau Jepang.
Ya sebuah
pesan klise yang juga selalu kudengar dari guru di sekolah. Pesan yang akan
kuabaikan saja. Ketika itu tentu saja, kalau sekarang beda cerita.
Aku
masih teringat jika setiap tanggal 17 Agustus, ia dengan semangatnya bersiaga
di depan TV dari pagi agar tak ketinggalan upacara pengibaran bendera Merah
Putih di Istana Merdeka. Ia tak berkedip saat menyaksikan acara demi acara. Jangan
harap ia akan menoleh saat kamu panggil.
Ia
begitu fokus, mata tuanya terus menatap layar TV tanpa menoleh ke kanan-kiri.
Ketika sang Saka Merah Putih tengah
dikibarkan, mata tua itu seketika menitikan air mata.
Saat
itu aku tak paham kenapa ia bisa secengeng itu hanya karena melihat pengibaran
bendera. Toh aku setiap hari Senin juga selalu melihat pengibaran bendera ketika
upacara di sekolah, tapi tidak pernah aku sampai menangis. Dan kini aku baru
mengerti kenapa Mbah Kon yang segagah itu bisa menangis hanya karena sebuah
bendera.
Kenanganku
juga kerap melayang di masa silam. Masih teringat ketika ia menggendong dan
mengajakku melihat lalu lintas mobil di pinggir jalan. Aktifitas yang kerap
dilakukan ketika Ibu sedang wirid atau mengikuti kegiatan PKK.
Aku juga
merindukan saat-saat tidur bersamanya. Biasanya ketika dimarahin oleh Bapak,
aku selalu kabur ke kamarnya, lalu menangis terisak-isak hingga tertidur
sendiri di sampingnya.
Mbah
Kon adalah motivator sarkas terbaik sepanjang hayat. Ketika aku tidak
mendapatkan rangking di SD, ia selalu berkata ,“Juara itu nggak penting ndok,
gak bisa dimakan, yang penting itu jadi wong jujur kayak Kakek ini. Percuma
kamu dapat ranking tapi sering bohong”.
10
Oktober 2008, sungguh tanggal yang paling kubenci sampai sekarang. Pasalnya ada beberapa
hal menyakitkan yang terjadi di tanggal itu, salah satunya adalah hari kematian
Mbah Kon. Ia memang mempunyai riwayat penyakit paru-paru dan pernah beberapa
kali opname di Rumah Sakit. Tapi tetap saja kepergiannya adalah hal yang tak
terduga.
Beberapa
hari setelah hari raya Idul Fitri, Nenek mengeluh sakit di kaki sehingga ia tak
bisa berjalan. Berbagai obat dari yang tradisional, alternatif dan medis belum
mampu menyembuhkan sakit kaki Nenek. Ia pun hanya bisa terbaring di rumah.
Hari
berlalu, sakit Nenek berangsur membaik. Pada hari Rabu, Mbah Kon mengeluh tidak
enak badan dan seharian berbaring di kamar. Di hari Kamis, kondisi kesehatannya
kembali membaik dan sudah berjalan-jalan ke luar rumah.
Namun,
tak disangka-sangka, Jum’at dini hari, ketika semua sedang tertidur, aku reflek
terbangun karena mendengar suaraNnenek
dari kamar Mbah Kon. Masih secara reflek aku langsung bergegas menuju ke kamar Mbah
Kon. Rupanya kedua orangtuaku juga terbangun. Sungguh saat itu firasat buruk
benar-benar menguar pekat.
Benar
saja, ketika tiba di kamar Mbah Kon, Nenek langsung berkata “Mbah Kon wes
pergi”. Pada saat itu, aku merasakan perasaan yang belum pernah kualami
sebelumnya. Kehilangan, kesedihan, kepedihan yang begitu dalam. Aku hancur-sehancurnya. Kematian
benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan seseorang dalam sekejap saja. Membuatku
nelangsa setengah mati.
Hingga
detik ini, masih ada sedu sedan dan isak
tangis setiap aku mengenangnya. Tak terhitung seberapa kuat rasa rindu ini.
Tapi mau tak mau aku harus paham, tak akan ada penawar dan usainya jika
merindukan seseorang yang pergi karena kematian.
“Mbah
Kon, Al-Fatihah untukmu. Ditinggalkan memang selalu menyakitkan, apalagi dalam
rentang waktu selamanya. Rasanya tak lengkap lagi menjalani hari-hari di bumi. Tapi
hidup dipaksa harus terus berjalan meski penuh dengan tangisan. Sampai bertemu
di kehidupan selanjutnya, Mbah. Aku yakin, Mbah sudah tenang di surganya Allah
SWT. Aku merindukanmu. Selalu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar