Senin, 18 Mei 2015

Untaian Doa-doa Berangkaikan Al-Fatihah untuk Almarhum Kakek Sayang (Salam Rindu, Mbah)


  

Mbah Kon, itulah panggilanku dan beberapa saudara yang lain padanya. Ia adalah Ayah kandung dari Ibuku. Kami tinggal serumah, tak heran jika ikatan emosionalku benar-benar kuat dibandingkan dengan cucu-cucunya yang lain. Itu yang terkadang membuat saudara-saudaraku yang lain merasa iri.

Ia adalah seorang veteran pejuang. Sejak kecil ia selalu bercerita kepadaku tentang pengalamannya berperang melawan Belanda dan Jepang. Tentang bagaimana gigihnya perjuangan tentara Indonesia saat bertahan di hutan selama berhari-hari tanpa makanan.

Kepada cucunya, ia selalu mengingatkan agar kami tak pernah lupa menghargai jasa para pahlawan. Mereka dengan ikhlasnya telah berkorban banyak demi kemerdekaan Indonesia. Tanpa mereka semua sampai sekarang mungkin Indonesia masih menjadi negara jajahan Belanda atau Jepang.

Ya sebuah pesan klise yang juga selalu kudengar dari guru di sekolah. Pesan yang akan kuabaikan saja. Ketika itu tentu saja, kalau sekarang beda cerita.

Aku masih teringat jika setiap tanggal 17 Agustus, ia dengan semangatnya bersiaga di depan TV dari pagi agar tak ketinggalan upacara pengibaran bendera Merah Putih di Istana Merdeka. Ia tak berkedip saat menyaksikan acara demi acara. Jangan harap ia akan menoleh saat kamu panggil.

Ia begitu fokus, mata tuanya terus menatap layar TV tanpa menoleh ke kanan-kiri. Ketika  sang Saka Merah Putih tengah dikibarkan, mata tua itu seketika menitikan air mata. 

Saat itu aku tak paham kenapa ia bisa secengeng itu hanya karena melihat pengibaran bendera. Toh aku setiap hari Senin juga  selalu melihat pengibaran bendera ketika upacara di sekolah, tapi tidak pernah aku sampai menangis. Dan kini aku baru mengerti kenapa Mbah Kon yang segagah itu bisa menangis hanya karena sebuah bendera.

Kenanganku juga kerap melayang di masa silam. Masih teringat ketika ia menggendong dan mengajakku melihat lalu lintas mobil di pinggir jalan. Aktifitas yang kerap dilakukan ketika Ibu sedang wirid atau mengikuti kegiatan PKK.

Aku juga merindukan saat-saat tidur bersamanya. Biasanya ketika dimarahin oleh Bapak, aku selalu kabur ke kamarnya, lalu menangis terisak-isak hingga tertidur sendiri di sampingnya.

Mbah Kon adalah motivator sarkas terbaik sepanjang hayat. Ketika aku tidak mendapatkan rangking di SD, ia selalu berkata ,“Juara itu nggak penting ndok, gak bisa dimakan, yang penting itu jadi wong jujur kayak Kakek ini. Percuma kamu dapat ranking tapi sering bohong”.

10 Oktober 2008, sungguh tanggal yang paling  kubenci sampai sekarang. Pasalnya ada beberapa hal menyakitkan yang terjadi di tanggal itu, salah satunya adalah hari kematian Mbah Kon. Ia memang mempunyai riwayat penyakit paru-paru dan pernah beberapa kali opname di Rumah Sakit. Tapi tetap saja kepergiannya adalah hal yang tak terduga.

Beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri, Nenek mengeluh sakit di kaki sehingga ia tak bisa berjalan. Berbagai obat dari yang tradisional, alternatif dan medis belum mampu menyembuhkan sakit kaki Nenek. Ia pun hanya bisa terbaring di rumah.

Hari berlalu, sakit Nenek berangsur membaik. Pada hari Rabu, Mbah Kon mengeluh tidak enak badan dan seharian berbaring di kamar. Di hari Kamis, kondisi kesehatannya kembali membaik dan sudah berjalan-jalan ke luar rumah.

Namun, tak disangka-sangka, Jum’at dini hari, ketika semua sedang tertidur, aku reflek  terbangun karena mendengar suaraNnenek dari kamar Mbah Kon. Masih secara reflek  aku langsung bergegas menuju ke kamar Mbah Kon. Rupanya kedua orangtuaku juga terbangun. Sungguh saat itu firasat buruk benar-benar menguar pekat.

Benar saja, ketika tiba di kamar Mbah Kon, Nenek langsung berkata “Mbah Kon wes pergi”. Pada saat itu, aku merasakan perasaan yang belum pernah kualami sebelumnya. Kehilangan, kesedihan, kepedihan yang begitu dalam. Aku hancur-sehancurnya. Kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan seseorang dalam sekejap saja. Membuatku nelangsa setengah mati.

Hingga detik ini,  masih ada sedu sedan dan isak tangis setiap aku mengenangnya. Tak terhitung seberapa kuat rasa rindu ini. Tapi mau tak mau aku harus paham, tak akan ada penawar dan usainya jika merindukan seseorang yang pergi karena kematian.

“Mbah Kon, Al-Fatihah untukmu. Ditinggalkan memang selalu menyakitkan, apalagi dalam rentang waktu selamanya. Rasanya tak lengkap lagi menjalani hari-hari di bumi. Tapi hidup dipaksa harus terus berjalan meski penuh dengan tangisan. Sampai bertemu di kehidupan selanjutnya, Mbah. Aku yakin, Mbah sudah tenang di surganya Allah SWT. Aku merindukanmu. Selalu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis