Selasa, 07 Agustus 2018

Jurnal Seorang Tamu: Pandangan Pertamaku dengan Suku Talang Mamak





 Aku berpose bersama masyarakat Suku Talang Mamak di Dusun Simerantihan Desa Suo-suo Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
Senja itu, aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Dusun Simerantihan. Bersama dengan 4 orang senior yang “menyenangkan”, dan 1 orang (katakanlah) pemandu, kisah ini bermula.
22 Juli 2018 - 1 Agustus 2018
Sebuah “tugas pertama” menakdirkanku bertamu di tempat ini. Sungguh, tak pernah terprediksi dan masuk dalam rencana hidupku. Semuanya seperti mengalir tanpa disengaja. Dan penuh misteri.
Pandangan pertamaku dengan masyarakat yang mendiami Dusun Simerantihan berlatar tempat di sebuah mess tak terawat namun masih layak ditempati. Ditemani satu purnama dan kerlipan bintang, aku berkenalan dengan masyarakat Suku Talang Mamak.
Di malam itu, pimpinan perjalanan kami menyampaikan alasan kedatangan kami. Tak lupa ia juga memperkenalkanku kepada masyarakat. Diiringi kicauan burung perbincangan kami pun kian mengalir.
Dinginnya malam tak membuat hatiku juga menjadi beku. Rasanya hatiku begitu mudah untuk beradaptasi dengan keadaan. Ya walaupun aku masih sedikit bingung. Katakanlah canggung. Aku masih ragu untuk bersikap karena takut salah langkah.
Ini sebenarnya rahasia, cuma tak apalah kuungkap saja. Jujur saja aku sempat takut ketika tidur tanpa teman di dalam mess. Maklum hanya aku yang perempuan, tidak mungkin tidur bersama para senior di luar mess.
Alhamdulillah, puji Tuhan, Pati Serunai (Pimpinan Suku Talang Mamak) sepertinya mengerti kekhawatiranku. Ia menyuruh sepasang suami istri untuk menemani malam-malam kami selama di Dusun Simerantihan. Secara adat pun, sangat terlarang perempuan yang belum berkeluarga bermalam dengan laki-laki yang juga belum berkeluarga. Harus ada yang menemani atau aku diinapkan di rumah masyarakat.
Ibu yang menemaniku tidur bernama Marsinah. Karena ia masih terlihat muda, aku memanggilnya Kak Marsinah. Ia adalah Ibu dari 3 orang anak, yang kesemuanya laki-laki. Sekadar informasi, anak Kak Marsinah yang no 2 (Sumanto), bandelnya bukan kepalang. Bandel tapi cengeng. Ahh jika ingat kejadian lucu tentang Manto, rasanya aku ingin tertawa.


Aku, Kak Marsinah dan dua orang anaknya

Kak Marsinah selalu setia menemani tidurku. Ia juga mengajakku ke sungai setiap bangun tidur untuk mencuci muka. Di Dusun Simerantihan kegiatan MCK (mandi, cuci, kakus) masih berpusat di sungai. Sungai seperti bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Suku Talang Mamak.
Berbicara tentang sungai, aku ingin menceritakan pencapaianku yang sangat berkesan. Di sungai Dusun Simerantihan aku mengukir rekor. Untuk pertama kalinya aku “buang hajat” di sungai. Iya, walaupun aku berasal dari desa, tapi desaku termasuk desa yang maju. Semua rumah sudah memiliki kamar mandiri sendiri. Di tempatku sungai hanya aku manfaatkan untuk tempat rekreasi. Biasalah anak alay. Ketemu sungai yang foto-foto.
Btw mau tahu rasanya buang hajat di sungai?
Sensasinya sungguh mendebarkan. Takut dilihat orang, takut ada ular, takut ada buaya, intinya segala ketakutan berkolaborasi. Padahal saat itu, aku sudah berusaha agar tidak “kebelet”. Sedikit makan, tidak mengonsumsi yang pedas. Tapi ya ternyata taktikku gagal total. Aku memang ditakdirkan untuk buang hajat di sungai.
Di sungai aku juga mengukir kenangan mandi dan mencuci pakaian. Ya walaupun hanya sekali sih. Aku mandi di sore hari bersama Kak Marsinah, Ibu-ibu Suku Talang Mamak, dan anak-anak kecil.
Lagi dan lagi aku merasa dilema. Mandi bersama orang banyak bukanlah sesuatu yang mudah bagiku. Ya walaupun sesama perempuan dan anak laki-laki, aku tetap merasa risih ketika harus menanggalkan pakaian.
Mengingat aku belum mandi selama 2 hari dan keringat-keringat jahat mengganggu kulitku, akhirnya seorang Kartika pun mandi di sungai. Piye rasanya? Dingin sekali, sungguh.
Tumpukan pakaian kotor juga ikut andil dalam kisahku. Gara-garanya aku harus mencuci sendirian di sungai. Saat itu masih pagi dan tidak ada orang sama sekali di sungai. Kondisi yang sepi itu membuat aku was-was tingkat tinggi. Sembari menyikat baju, aku berjaga-jaga. Takut jika ada buaya, babi, monyet yang tiba-tiba menghampiri.
Rangkaian kisah ini masih sangat panjang. Sayang sungguh sayang, otak dan mataku sudah tidak sinkron lagi. Otak berkata teruskanlah, mata menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Sekadar informasi saja, jam sudah di angka 11:14 WIB ketika jariku menusuk-nusuk tuts keyboard. Waktu yang belum malam tentu saja untuk seorang pegadang, hanya saja untukku yang seorang mantan pegadang, ini ya waktu terbaik untuk memejam.
Jadi kuakhiri saja catatan perjalanan ini. Bersambung dulu ya. Akan kulanjutkan jika virus malas tak menghinggapi. Sayonara.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis