Aku berpose bersama masyarakat Suku Talang Mamak di Dusun Simerantihan Desa Suo-suo Kecamatan Sumay Kabupaten Tebo Provinsi Jambi
Senja
itu, aku menginjakkan kaki untuk pertama kalinya di Dusun Simerantihan. Bersama
dengan 4 orang senior yang “menyenangkan”, dan 1 orang (katakanlah) pemandu,
kisah ini bermula.
22 Juli 2018 - 1 Agustus 2018
Sebuah
“tugas pertama” menakdirkanku bertamu di tempat ini. Sungguh, tak pernah
terprediksi dan masuk dalam rencana hidupku. Semuanya seperti mengalir tanpa
disengaja. Dan penuh misteri.
Pandangan
pertamaku dengan masyarakat yang mendiami Dusun Simerantihan berlatar tempat di
sebuah mess tak terawat namun masih layak ditempati. Ditemani satu purnama dan kerlipan
bintang, aku berkenalan dengan masyarakat Suku Talang Mamak.
Di
malam itu, pimpinan perjalanan kami menyampaikan alasan kedatangan kami. Tak
lupa ia juga memperkenalkanku kepada masyarakat. Diiringi kicauan burung
perbincangan kami pun kian mengalir.
Dinginnya
malam tak membuat hatiku juga menjadi beku. Rasanya hatiku begitu mudah untuk
beradaptasi dengan keadaan. Ya walaupun aku masih sedikit bingung. Katakanlah
canggung. Aku masih ragu untuk bersikap karena takut salah langkah.
Ini
sebenarnya rahasia, cuma tak apalah kuungkap saja. Jujur saja aku sempat takut
ketika tidur tanpa teman di dalam mess. Maklum hanya aku yang perempuan, tidak
mungkin tidur bersama para senior di luar mess.
Alhamdulillah, puji
Tuhan, Pati Serunai (Pimpinan Suku Talang Mamak) sepertinya mengerti
kekhawatiranku. Ia menyuruh sepasang suami istri untuk menemani malam-malam
kami selama di Dusun Simerantihan. Secara adat pun, sangat terlarang perempuan
yang belum berkeluarga bermalam dengan laki-laki yang juga belum berkeluarga.
Harus ada yang menemani atau aku diinapkan di rumah masyarakat.
Ibu
yang menemaniku tidur bernama Marsinah. Karena ia masih terlihat muda, aku
memanggilnya Kak Marsinah. Ia adalah Ibu dari 3 orang anak, yang kesemuanya
laki-laki. Sekadar informasi, anak Kak Marsinah yang no 2 (Sumanto), bandelnya
bukan kepalang. Bandel tapi cengeng. Ahh jika ingat kejadian lucu tentang
Manto, rasanya aku ingin tertawa.
Aku, Kak Marsinah dan dua orang anaknya
Kak
Marsinah selalu setia menemani tidurku. Ia juga mengajakku ke sungai setiap
bangun tidur untuk mencuci muka. Di Dusun Simerantihan kegiatan MCK (mandi,
cuci, kakus) masih berpusat di sungai. Sungai seperti bagian yang tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat Suku Talang Mamak.
Berbicara
tentang sungai, aku ingin menceritakan pencapaianku yang sangat berkesan. Di
sungai Dusun Simerantihan aku mengukir rekor. Untuk pertama kalinya aku “buang
hajat” di sungai. Iya, walaupun aku berasal dari desa, tapi desaku termasuk
desa yang maju. Semua rumah sudah memiliki kamar mandiri sendiri. Di tempatku
sungai hanya aku manfaatkan untuk tempat rekreasi. Biasalah anak alay. Ketemu
sungai yang foto-foto.
Btw mau tahu rasanya buang hajat
di sungai?
Sensasinya
sungguh mendebarkan. Takut dilihat orang, takut ada ular, takut ada buaya,
intinya segala ketakutan berkolaborasi. Padahal saat itu, aku sudah berusaha
agar tidak “kebelet”. Sedikit makan, tidak mengonsumsi yang pedas. Tapi ya
ternyata taktikku gagal total. Aku memang ditakdirkan untuk buang hajat di
sungai.
Di
sungai aku juga mengukir kenangan mandi dan mencuci pakaian. Ya walaupun hanya
sekali sih. Aku mandi di sore hari bersama Kak Marsinah, Ibu-ibu Suku Talang
Mamak, dan anak-anak kecil.
Lagi
dan lagi aku merasa dilema. Mandi bersama orang banyak bukanlah sesuatu yang
mudah bagiku. Ya walaupun sesama perempuan dan anak laki-laki, aku tetap merasa
risih ketika harus menanggalkan pakaian.
Mengingat
aku belum mandi selama 2 hari dan keringat-keringat jahat mengganggu kulitku,
akhirnya seorang Kartika pun mandi di sungai. Piye rasanya? Dingin sekali,
sungguh.
Tumpukan
pakaian kotor juga ikut andil dalam kisahku. Gara-garanya aku harus mencuci
sendirian di sungai. Saat itu masih pagi dan tidak ada orang sama sekali di
sungai. Kondisi yang sepi itu membuat aku was-was tingkat tinggi. Sembari
menyikat baju, aku berjaga-jaga. Takut jika ada buaya, babi, monyet yang
tiba-tiba menghampiri.
Rangkaian
kisah ini masih sangat panjang. Sayang sungguh sayang, otak dan mataku sudah
tidak sinkron lagi. Otak berkata teruskanlah, mata menunjukkan tanda-tanda
mengantuk. Sekadar informasi saja, jam sudah di angka 11:14 WIB ketika jariku
menusuk-nusuk tuts keyboard. Waktu
yang belum malam tentu saja untuk seorang pegadang, hanya saja untukku yang
seorang mantan pegadang, ini ya waktu terbaik untuk memejam.
Jadi
kuakhiri saja catatan perjalanan ini. Bersambung dulu ya. Akan kulanjutkan jika
virus malas tak menghinggapi. Sayonara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar