Sabtu, 11 November 2017

Mengenang Sang Bapak Filsafat Eksistensialisme yang Melankolis




Sumber foto: Google Image
“Cintaku tak harus miliki dirimu, meski perih mengiris iris segala janji.”
            Alunan lagu klasik Dewa 19 terdengar sayup-sayup di sebuah kamar kos. Beiringan dengan suara tuts keyboard yang ditekan tanpa henti.  Menguarkan aroma sendu nan keluh di segala penjuru. Sekadar informasi, itu adalah kamar saya, dan tentu saja yang tengah kerja rodi itu seorang Kartika.  
Saya berhenti sejenak dari aktifitas maha jenuh – yang-kalian-pasti-tahu-lah-apa-itu – untuk kemudian mengucap penggalan lirik, yang menurut saya sangat munafik. Cinta tak harus memiliki? Hell ya, bullshit sekali.
            “Jika kamu mencintai seseorang, pasti kamu ingin memiliki. Memiliki hati, memiliki jiwa dan raga. Hanya orang-orang sok kuat saja yang mengatakan cinta tak harus memiliki. Cinta dan pengklaiman berkerabat dekat, tak bisa dipisahkan. Jadi, cinta ya harus memiliki.” Sanggah saya dengan berapi-api.
            Beberapa detik kemudian, saya merasa seperti terpelatuk akan kata-kata yang baru saja saya ucapkan. Saya seperti terlalu ideal, atau malah mengingkari sebuah kenyataan. Saya takut berdamai dengan realitas. Sampai di sini, sepertinya malah saya yang cocok disebut munafik.
            Akhirnya, saya mengembara. Pikiran saya berpetualang ke sana ke mari demi ketenangan hati. Berharap saya bisa bersepakat dan lapang dada menerima “Cintaku tak harus miliki dirimu.”
            Alhamdulillah, Puji Tuhan, sepertinya saya sedang beruntung. Takdir membawa pikiran saya mampir di sebuah keluarga di dataran Eropa, tepatnya di Kopenhagen, Denmark. Sekilas pandang, keluarga tersebut terlihat bahagia dan lumayan bergelimang harta. Dengan berbekal nyali dan rasa penasaran yang tinggi, akhirnya saya memutuskan bertamu di rumah tersebut.
            Michael Pedersen Kierkegaard, begitulah nama sang kepala keluarga. Ia mempunyai seorang istri yang cantik, dan 7 orang anak. Sungguh sebuah keluarga yang terlihat bahagia. But you know, semua yang indah, tidak selamanya akan indah. Seperti itu pula dinamika keluarga Kierkegaard. Michael percaya, bahwa keluarganya mendapat kutukan dari Tuhan akibat kesalahannya di masa lampau.
            Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kekhawatiran Michael rupanya dikabulkan oleh takdir. Ia menua dengan diiringi kematian 5 orang anaknya terlebih dahulu, untuk kemudian menyusul sang istri tercinta, Anne Sorensdatter Lund Kierkegaard.
            Dari dua orang anak yang masih tersisa. Satu orang begitu mencuri perhatian saya. Seorang pria misterius nan melankolis – ntah kenapa saya mudah sekali jatuh hati dengan pria seperti ini. Mari panggil pria ini, Soren Aabye Kierkegaard.
            Soren Kierkegaard lahir pada 5 Mei 1813. Terpaut triliunan detik dari hari lahir saya. But I don’t know why, 183 tahun tak sanggup menjadi penghalang rasa kekaguman saya pada pria sendu ini.
            Kehidupan masa kecil yang riang dan menggembirakan, tak sempat dinikmati oleh Soren Kierkegaard. Masa kecilnya begitu kelam. Ia kehilangan banyak orang yang dicintai di masa itu. Lagi-lagi itu semua (menurut sang Ayah) disebabkan oleh kutukan.
Kierkegaard menjadi harapan Ayahnya agar dapat mengubah kesialan keluarga. Salah satu cara supaya dapat melenyapkan kesialan itu adalah dengan kembali pada nilai-nilai agama yang religius. Atas permintaan Ayahnya ia mempelajari teologi di universitas.
Walau belajar teologi di universitas,  Kiergaard yang cerdas justru mempelajari juga filsafat dan seni. Ia tahu bahwa mempelajari filsafat lebih menarik daripada teologi. Akhirnya setelah kematian sang Ayah, ia meninggalkan teologi dan berkonsentrasi di filsafat.
Di balik kehebatan seseorang senantiasa ada titik rapuh. Itu pula yang berlaku pada Soren Kierkegaard. Adalah Regina Olsen, gadis manis yang membuatnya jatuh cinta bukan kepalang. Bahagianya, cinta itu tak bertepuk sebelah tangan. Sang gadis membalas perasaannya. Rasa suka yang begitu indah Kierkegaard gambarkan dalam salah satu catatannya dua tahun kemudian;
“Regina, engkaulah ratu daulah hatiku, bertahta jauh di kedalaman lubuk hati, dalam segala kepenuhan pikirku akan hidup. Ya, di sanalah engkau bersemayam, tempat di mana jarak laksana jauhnya neraka dan surga. Di sanalah engkau, ya cahaya ilahi yang tak terkenali.” 

“Segala kala rasanya aku melihat unsur keindahanmu dalam wajah tiap gadis. Namun tampaknya aku harus merangkum kecantikan seluruh gadis di dunia untuk menghayati keindahanmu. Nampaknya aku harus berlayar ke seluruh dunia agar kudapat menemu relung yang kuingini itu. Ke situlah rahasia terdalam ketertarikan hatiku mengarah. Dan… saat engkau begitu dekat denganku, begitu nyata… engkau begitu memenuhi jiwaku sehingga aku menjelma menjadi sejatinya diriku...Ah… amatlah indah nikmatnya.”

“Engkaulah yang menyilaukan mata sang dewa cinta. Engkaulah yang melihat dalam kegelapan rahasia. Akankah engkau menyingkapkannya juga bagiku? Akankah kumenemukan yang aku cari di dunia ini? Akankah kumengalami simpulan dari segala premisku yang janggal? Akankah kumemelukmu dengan dekapanku? Atau akankah Sang Perintah berkata: Maret pasti berlalu.” (Catt : mereka berjumpa pertama kali di Maret 1837)

“Adakah engkau telah berjalan di depanku, duhai rindu jiwaku? Apakah engkau telah mendahuluiku dan memberi isyarat padaku dari sisi lain dunia? Oh, betapa ingin aku menyingkirkan segalanya demi kubisa mengikuti jejak isyaratmu itu.”

            Sungguh saya sangat iri dengan Regina. Ia begitu dipuja dan dicinta. Dan yang paling romantis pun menghampiri. Pada tanggal 8 September 1840 Kierkegaard meminang Regina. Sampai di sini, kita bisa berangan bahwa pertunangan tersebut akan berlanjut ke altar. Lalu, mereka menjadi pasangan yang bahagia.
            Kenyataannya, ini bukan drama Korea yang segala sesuatu akan happy ending. Lagipula bukan Kierkegaard namanya kalau tak menilai dirinya sendiri selaras dengan keyakinannya. Kierkegaard meyakini kalau dirinya cenderung terlalu melankolis dan ia menilai sikap itu tidaklah baik bagi Regina.
Ia juga meyakini bahwa ia akan mati muda, hal yang tentu akan menyusahkan bagi kekasihnya itu. Namun hal yang paling merisaukan sang filsuf adalah, ketakyakinannya bahwa cintanya bisa setimpal dengan ketulusan cinta dari Regina. Ia tidak mau membohongi kekasihnya yang begitu mencintainya tanpa pamrih. Maka kurang setahun dari pinangannya, ia memutuskan pertunangan tersebut.
Konon kabarnya calon mertuanya sampai berkali-kali memohon agar Kierkegaard mengurungkan niatnya membatalkan pertunangan. Namun si melankolis ini sudah menetapkan, walau hatinya begitu galau. Kembali dalam sebuah catatan ia menuliskan seklumit perasaannya.

“... dan kegelisahan yang begitu parah ini, ya Tuhan – di mana aku ingin meyakinkan diriku sendiri setiap saat bahwa aku masih selalu mungkin untuk kembali padanya – akankah aku berani menghadapi gelisahku ini? Sangat sesak rasanya; harapan akhirku akan hidup telah kugantungkan padanya, sementara kini ku harus melucuti harapan itu dari diriku. Sungguh asing bagiku. Aku tak pernah berpikir sungguh soal perkawinan, namun ku tak pernah percaya jika harus berakhir dengan cara seperti ini lalu meninggalkan luka yang begitu dalam.”

“Dulu aku selalu menertawai orang-orang yang membicarakan kekuatan perempuan, sekarang pun masih demikian. Namun untuk sang dara nan cantik serta pengungkap segala rasa ini, sang dara yang selalu mencintai dengan segenap pikir dan hatinya, sang dara yang sungguh sangat berkorban, sungguh sangat membela- betapa seringnya aku begitu takluk dalam kedekatan. Hingga aku hampir saja menaruh cintanya mendekati api. Memang bukan cinta yang penuh dosa, namun aku butuh untuk sekedar berkata padanya bahwa aku mencintainya.”

“Segalanya seperti telah ditetapkan untuk mengakhiri masa mudaku. Namun kemudian ku sadar bahwa ini mungkin tak baik baginya. Aku mungkin saja menghambur badai di atas kepalanya, karena dia akan merasa bertanggung jawab atas ajalku.”

“Aku lebih suka pada yang kulakukan ini. Hubunganku dengannya selalu menjadi kegamangan, aku bahkan bisa memberi penafsiran apa saja atas hubungan itu, sesukaku. Aku telah menafsirkannya dengan memandang aku sebagai pendusta. Berbicara secara manusiawi, inilah jalan terbaik satu-satunya bagi Regina, demi ketengangan jiwanya.”

Romansa dua sejoli itu pun berakhir tanpa ada ikatan. Sang gadis akhirnya menikah dengan Friedrich von Schlegel, seorang pegawai pemerintah Denmark. Ada yang mengatakan saat Regina sudah menikah, Kierkegaard malah memohon kepada suami Regina agar diijinkan menjumpai Regina sebagai sahabat.  
Tentu saja permintaan itu ditolak mentah-mentah oleh suami Regina.  Karena itulah Kierkegaard meminta maaf sepanjang hidupnya pada Regina lewat surat-surat dan karya sastranya, dan ia menjadi semakin melankolis.
Tak ada yang abadi, begitu hukum alam berkata. Kierkegaard meninggal di Frederik’s Hospital pada 11 Nopember 1855, lima Minggu setelah ia terjatuh tak sadarkan diri. Kierkegaard berlalu untuk selamanya. Mewariskan karya-karya yang menginspirasi anak-anak manusia di kemudian hari.
Uhhh . . sepertinya saya terlalu lama bertamasya di Denmark. Terlalu asyik bertamu di kediaman Kierkegaard. Sudah saatnya saya kembali ke dunia nyata. Meninggalkan duka, sesak, kagum. Biarlah rasa itu berterbangan di udara. Menyatu bersama debu-debu, lalu menjadi rindu.
Kini pikiran saya sudah pada tempatnya, dan mungkin akan bersiap menjelajahi lagi kisah kasih di dunia yang tak ada habisnya. Namun sebelum paragraph ini berakhir, biarkan saya menuliskan kesimpulan perjalanan saya ke Denmark.
Cinta memang tak harus memiliki. Saya berlapang dada menerima kalimat itu. Kierkegaard mengajarkan kepada saya, akan satu teladan kejujuran hati. Ya meski itu pahit (banget). Kierkegaard telah menunjukkan kebebasan bahwa kita tidak akan pernah memiliki kekasih kita, kita hanya bisa menjadi seorang kekasih, sebaik yang kita mau dan mampu.
You know guys, apa yang paling berbekas dan terpahat di palung hati saya akan kisah ini? Itu adalah sikap Soren, “Karena sangat mencintai Regina, maka Kierkegaard takut suatu hari nanti akan menyakiti Regina.” I think, that’s really awesome.

Catatan:
Hari ini tepat 162 tahun kepergian sang filsuf melankolis, Soren Kierkegaard. Atas nama rindu, maka saya mengenang pria sulit dimengerti dari Denmark ini. Mengenang untuk hormat, mengenang untuk belajar. Tentu saja bukan teori yang ia kemukakan serta kelebihan dan kelemahan pemikirannya yang ingin saya kenang. Tapi romansa “kasih tak sampainya” yang sukses membuat saya terpelatuk. Beristirahatlah dengan tenang, Soren.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis