Selasa, 28 November 2017

Dia Gadis Berlipstik Merah


Red Lipstick by Kume Bryant



Bagi yang kenal dan pernah bertemu dengan saya, pasti kalian tahu bahwa saya ini seorang pecandu lipstik merah garis keras.
Dari sekian warna lipstik, saya memang begitu cinta mati dengan si merah. Semboyannya; Walaupun berbeda-beda merek lipstik, warnya tetap merah jua.
Alasan pertama saya cinta mati, warna merah cocok dengan muka saya.
Alasan kedua, saya tersugesti lebih “berani” dan bersemangat menjalani hidup yang kejam ini. Percaya atau tidak, ketika di posko KKN lipstik merah saya keselip ntah di mana. Akhirnya saya terpaksa meminjam lipstik teman yang berwarna merah jambu.
Di hari itu saya merasa seperti anak ayam kehilangan induknya. Hidup saya sama sekali tak bergairah. Lelah, letih, lesu, persis seperti kekurangan darah
Tidak gampang menjadi seorang perempuan berlipstik merah.
Bisik-bisik tetangga selalu ada. Saya dilabeli perempuan genit, habis makan orok, sampai dibilang seperti Tante-tante girang binti norak.
Saya sih terus maju tak gentar. Toh saya beli lipstik pakai uang sendiri.
Saya pun tidak bisa membuat senang semua orang, dengan menuruti atau mengizinkan mereka mendikte saya.
Sederhananya: Tubuh saya, ya milik saya.

 

Yakin Kita ini Teman?




Foto: Google
Perjalanan menuju “sarjana” benar-benar terjal. Ada saja “musuh-musuh” yang menghampiri. Tapi saya ini kan jagoan, jadi musuh-musuh pasti sukses terlibas (ya walaupun sampai berjuang berdarah-darah untuk menumpas musuh).
    Tak hanya terjal, perjalanan ini juga membuat saya menjadi mandiri, sungguh. Selama hampir 4 tahun kuliah, di titik inilah saya merasa benar-benar hebat. Hebat dalam artian, saya mampu melakukan sesuatu yang saya pikir saya tidak mampu, tapi nyatanya saya mampu.
     Perlahan saya mulai mencoba untuk tidak merepotkan orang lain. Bukan karena saya sudah mampu untuk berdiri sendiri. Namun saya sadar, orang lain tidak selalu ada untuk kita. Tidak ada kepastian, kapan dia berada di pihakmu.
   Di usia kepala 2, saya akhirnya percaya, jika menggantungkan sesuatu kepada manusia maka kecewa yang didapat. Saya percaya, karena saya sering merasakannya. Nelangsa memang jika kecewa itu berasal dari orang yang kita anggap dekat.
      Tapi ya beginilah hidup. Ada pahit, asam, manis, asin. Sepertinya saya saja yang terlalu egois menganggap semua rasa itu sama. Padahal realitasnya?
     Saya bukan seorang Buddhis, tapi saya percaya akan hukum karma. Karma itu ada! Saya mengecewakan orang, lalu saya dikecewakan, dan orang yang mengecewakan saya akan kecewa juga.
   Apakah saya menyalahkan mereka yang telah mengecewakan saya? NO! saya yang terlalu manja, dan mereka juga tidak pernah berniat dan berjanji untuk “membahagiakan” saya.
     Eh ini bukan soal asmara ya. Sudah lama saya tidak pernah galau karena asmara. Bagi saya “bermasalah” dengan orang dekat (dalam hal ini; teman, sahabat; keluarga), lebih membikin hati berantakan daripada perkara asmara.
             
Kini saya mengerti. Pada akhirnya, saya harus berjuang sendiri. Semua harus berjuang sendiri.
ASUdahlah . .
Kartika
Yang lagi kecewa sama “teman”.

Mau Dibawa ke Mana Saya ini?





Foto: Google


Akhir-akhir ini saya sering berpikir mengenai masa depan. Ya, mau dibawa ke mana saya ini, setelah menyelesaikan S1. Kerja, lanjut kuliah, atau menikah (khusus yang terakhir dicoret saja).
            Pilihan terbijak, saya kerja. Ya, kerja!
Eh tapi kerja apa?
          Menuruti kata hati, saya ingin bekerja sesuai passion saya. Alangkah bahagianya jika hoby juga menjadi pekerjaan. Perasaan saya ringan seperti kapas. Menjalaninya juga akan terasa indah, sepertinya.
            Yang jadi masalah terbesar, kedua orangtua saya tidak menyetujui rencana kerja saya. Kami pernah berdiskusi, dan berakhir dengan kata “jangan”.  Bukan jangan dalam artian mutlak. Tapi jangan relatif.
            “Kalau nggak ada yang bisa kamu perbuat lagi.” Sederhananya mereka berkata seperti itu. Rumitnya, mereka ingin saya berikhtiar untuk pekerjaan yang idaman menurut mereka.
          Sampai di sini, saya cuma bisa berpikir. Ya mau ngapain lagi, kalau nggak mau berpikir.   
            Jika saya mengikuti versi orangtua, rasanya tak rela. Mungkin bisa dibilang berat hati. Kamu dipaksa terjun dalam hal yang tak kamu cintai. Tapi kalau tetap ngotot dengan pilihan saya. Wah betapa kampretnya saya ini. Untuk apa sih kita hidup di dunia ini, kalau bukan membahagiakan orangtua?    
         Dari kecil saya dirawat, disekolahkan, dikuliahkan, dikirim uang tiap bulan (sampai orangtua rela ngutang sana-sani), lalu saya mengabaikan begitu saja keinginan orangtua. Layak banget saya dikutuk seperti Malin Kundang. Ahh benar kata iklan: Jadi orang dewasa itu menyenangkan, tapi susah dijalani.
          Jadi kesimpulan dari koar-koar saya sedari tadi: Doakan saya lulus kuliah terlebih dahulu. Nanti akan saya update bagaimana keberlangsungan hidup saya.

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis