Rabu, 22 Januari 2025

Pada Suatu Sore

 


Pada suatu sore, seorang pria pernah mengutarakan rasa ketertarikan kepada saya. Dari beberapa alasan yang pernah saya dengar, jawaban pria ini cukup membuat saya tersenyum geli. Pria ini bilang saya menarik karena tahu lagu-lagu milik Nirvana. Saya menarik karena di antara playlist lagu saya, ada lagu-lagu milik The Doors dan Led Zeppelin. Lucu rasanya ketika saya berusaha keras “memamerkan” kelebihan yang lain, ia malah jatuh hati karena hal yang sederhana.

Ahh sepertinya label pecinta pria-pria Korea Selatan sudah terlalu melekat di saya. Sehingga rasa suka saya terhadap lagu dan band rock klasik menjadi sebuah fakta yang mengejutkan. Jadi ingat rasa shock seorang rekan kerja karena saya mendengar lagu System Of A Down. Dia bilang music metal tak cocok dengan “image” yang saya punya.

Ngomong-ngomong kisah saya dan si pria itu tidak berlanjut. Ia baik, dewasa, pintar, tinggi dan selera musik kami ada kemiripan. Namun di moment itu saya terlalu naif. Saya beranggapan; pada titik tertentu pria terlalu baik akan membuat wanita bosan. Sungguh sebuah pemikiran yang membuat saya tak habis pikir dengan logika saya pada saat itu.

Akhir cerita tidak ada romansa yang terjadi. Namun kami tetap berinteraksi sebagai sesama pecinta genre rock klasik. Dan kini pria itu sudah memiliki kehidupan yang (semoga  membahagiakan) bersama anak dan istri. Sementara saya? Saat ini saya juga sudah bahagia - sepertinya.  

Senin, 09 Desember 2024

Ingin (Butuh) Menjadi Istri Seorang Petani




Akhir-akhir ini urusan duniawi (Baca: pekerjaan) membuat hari dan hatiku lumayan suram. Tekanan-tekanan yang kuterima membangkitkan sebuah kecemasan dan berujung opini: sepertinya aku memang tidak layak berada di posisi ini. 

Segalanya terasa berat karena memang sedang terjadi. Kurasa jika sudah terlalui, aku hanya akan tertawa dan mungkin sedikit berbangga akan upaya bertahanku hingga fase itu pergi. 

Dipikir-pikir, dari tahun ke tahun masalahku hanya berputar-putar ke urusan pekerjaan saja. Hanya pemeran, setting lokasi dan isunya saja yang berbeda. Tanpa ada keinginan berdusta pada diri sendiri, kuakui kali ini memang cukup melukai.Ya semoga tak ada dendam yang menyertainya. 

Pengalaman sakit-sembuh ini membuatku mempunyai ide aneh dan tidak berkorelasi: aku ingin menjadi istri dari seorang petani. Sebuah praktik yang banyak ditemui di kampung halamanku. 

Tanpa memandang rendah profesi lain, bagiku suami petani sangat cocok dengan sebuah kondisi yang kubutuhkan di masa depan. Catat ya, KUBUTUHKAN bukan KUINGINKAN. 

Kurasa aku butuh rehat sejenak dari hubungan basa basi atas nama koordinasi dan interaksi dengan mayoritas manusia yang punya kuasa. Sudah cukup melelahkan bukan? 

Rasanya bukan gagasan aneh jika hari-hariku seharusnya berfokus pada alam dan tumbuhan. Toh secara historis dan empiris aku sebenarnya juga berasal dari keluarga petani. 

Aku membutuhkan sebuah rutinitas yang berbeda. Kubayangkan rutinitas ini akan menyenangkan ya walaupun melelahkan secara fisik. Kurasa aku akan lanjut menuliskan gambaran rutinitas itu. 

Jadi aku dan suamiku akan terbangun ketika adzan Subuh. Kalau aku mendapatkan suami yang taat pada Allah SWT, seharusnya kami akan sholat berjamaah dan mungkin mengaji bersama setelahnya. Jika suamiku paham akan kesehatan, ia akan mengajakku marathon mengelilingi kebun teh. Walaupun setelah kupikir-pikir, kegiatan itu bisa dicoret saja karena nantinya kami juga akan mengeluarkan keringat ketika bekerja di ladang. 

Anggap saja sholat dan tadarus telah kami lakukan. Aku bergegas masak untuk makan kami yang terhitung: makan pagi, siang dan malam. Ya walaupun makan malam akan kuusahakan untuk nego dengan suamiku agar kami makan di luar saja hehe. 

Sementara aku memasak, suamiku dengan penuh inisiatif membantuku mencuci pakaian dan piring kotor. Aku akan makin senang jika ia bersedia menyapu halaman rumah sambil menyiram bunga dan tanaman sayuran kami lainnya. 

Singkat cerita, makanan tersedia, pakaian terjemur, halaman rumah sudah disapu, tiba saatnya kami berangkat ke ladang mengendarai motor ladang andalan suamiku. 

Sesampainya di ladang kami tidak langsung bekerja melainkan sarapan sambil bercerita. Mungkin aku akan bertanya apakah club bola kesukaannya menang. Atau aku akan menceritakan drama Korea yang kutonton. Atau hanyan obrolan sebatas topik harga komoditas pertanian yang naik turun. Apapun itu, aku ingin menceritakan semua padanya. 

Setelah selesai sarapan, berjam-jam akan kami habiskan dengan berinteraksi pada tanaman. Ntah dia memberi pupuk tanaman kentang kami. Aku menyiangi rumput di sela-sela tanaman cabe. Kami berhenti sejenak untuk melepas dahaga. 

Ketika adzan Dzuhur berkumandang. Seharusnya kami akan menunaikan kewajiban sebagai umat Islam. Dilanjutkan dengan makan siang, lagi lagi sambil bercerita. Kurasa obrolan kami lebih banyak aku yang mendominasi karena suamiku ini tipe pendiam. 

Perkara duniawi dan akhirat selesai, kami melanjutkan pekerjaan; fokus kepada tanaman lagi. Menjelang adzan Ashar, sudah saatnya kami berpamitan pada ladang dan tanaman, kembali ke rumah. 

Di rumah aktifitas kami selanjutnya tentu sudah bisa ditebak; mandi, sholat, makan malam dan beristirahat setelah seharian dipanggang matahari. Sebagai manusia yang clingy, aku akan melakukan hal-hal manja kepada suamiku. Aku akan memaksanya menonton film pilihanku secara bersama-sama. Aku tidak peduli jika genrenya tidak cocok untuknya. 

Dan pada akhirnya tiba di jam yang menunjukkan waktu untuk tidur. Aktifitas kami terhenti untuk sementara waktu. Berlanjut kembali di hari esoknya seperti yang sudah-sudah. 

Kurasa hanya ada pembeda dua hari saja. Pertama, hari Jum'at. Kami harus pulang lebih cepat karena dia akan menunaikan sholat Jum'at. Kedua, hari pasaran di desa. Kami akan beristirahat total di hari itu. 

Well begitulah sebuah rutinitas yang kupikir aku membutuhkannya. Berkaca pada apa yang kulakukan sekarang dan membuatku tidak begitu bahagia, kurasa aku butuh sesuatu yang sederhana saja. 

Ya kurasa aku memang membutuhkannya. Dan perlu kucatat, kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang berbeda. 




Sabtu, 16 November 2024

Sudah Hampir Dua Tahun



Dua tahun lalu, saat memutuskan pindah ke Kalimantan, saya sadar akan segala konsekuensi yang menanti. 

Tinggal di pedalaman Kalimantan dengan bermacam keterbatasan, bukanlah sebuah pilihan yang akan diambil setiap orang. Kalau kata seorang teman, hanya orang gila yang memilih opsi ini. Dan saya adalah salah satu orang gila tersebut. 

Sama seperti perjalanan dan kisah pada umumnya, kadang ada hal-hal yang membuat saya menangis tersedu-sedu. Tapi banyak juga alasan yang membuat saya begitu bersuka cita. 

Yang jelas, saya terkesan dan kagum dengan kemampuan bertahan hidup serta adaptasi yang saya miliki. 

Ketika memutuskan menetap di Kalimantan, saya mengerti; jarak akan menjadi hal yang paling saya benci. Saya tidak akan bisa menemui keluarga di kampung dengan leluasa. Orangtua juga tidak bisa berkunjung ke kosan saya seperti yang sudah-sudah.

Situasi yang menjadi kekhawatiran saya saat ini, Bapak, Ibu dan kedua nenek saya sudah semakin senja. Banyak hal menakutkan yang kapan saja bisa terjadi. Sungguh saya takut sekali tiap keluarga menelpon saya secara mendadak dan berkali-kali.

Belum lagi kondisi sinyal di sini cenderung tidak stabil. Ada kondisi tiba-tiba semua sinyal hilang dan tidak ada pilihan apapun untuk berkomunikasi.

Sejujurnya saya sudah berdamai dengan kondisi sinyal yang seadanya ini. Tapi ada moment saya begitu benci dengan timpangnya akses komunikasi di pedalaman. Saya begitu kesal dengan ketidakmerataan pembangunan di negeri ini. 

Tahun lalu, sinyal hilang cukup lama di kota ini. Dari sore hingga pagi hari, kami seperti hidup di blank spot area. 

Bagian paling menyedihkan, di malam hari ketika sinyal hilang, Ibu saya mengirim pesan dan menelpon saya berkali-kali, mengabari jika Bapak saya tiba-tiba sakit dan harus diopname. Tak terbayang seberapa kalutnya ibu saya pada malam itu. Lagi lagi sedihnya, saya baru mengetahuinya di pagi hari ketika sinyal kembali muncul.

Sore ini saya mendapatkan kabar, nenek saya terpeleset di kamar mandi dan harus dirawat di puskesmas. Sama seperti ketika mengetahui Bapak saya sakit, sekarang perasaan saya hancur dan bimbang. Banyak hal yang ingin saya lakukan, namun dipatahkan oleh keadaan dan jarak. Hanya doa baik yang tak putus saya kirimkan. 



Minggu, 30 Juni 2024

Lemah dalam Bertahan



Jika ada kompetisi survive di hutan, bisa dipastikan saya menjadi orang pertama yang akan gugur. Ya kecuali kalo saingannya ternyata lebih "polos" daripada saya. 

Terkait tanaman, saya tidak bisa membedakan mana yang edible mana yang beracun. Pengetahuan tanaman saya, hanya sebatas sayuran yang ada di Kayu Aro dan yang Ibu saya masak.

Buah-buahan pun seperti itu juga. Bisa dipastikan saya akan tergoda dengan buah yang terlihat menggiurkan, padahal ternyata beracun. 

Saya juga nggak bisa berburu hewan ataupun mancing ikan. Selain itu, saya nggak bisa bikin api pakai batu atau kayu yang digesek-gesek. Dan kemungkinan besar, walaupun di kondisi darurat saya bakal tetap pilih-pilih makanan.

Kamis, 07 Maret 2024

Tidak Ingin Terbawa Arus



Dibanding naik pesawat, jujur ku lebih deg-deg'an naik ketinting (perahu kecil). Mungkin karena ku tidak bisa berenang + jeram di sungai Malinau luar biasa ngerinya. 

Di pesawat meski perjalanan cuma sejam, ku masih bisa tertidur. Tapi di ketinting, harus siap-siap kesiram air, ngindarin ketabrak ranting pohon, nahan panas bedekang atau malah hujan-hujan'an. 

Sejauh ini pengalamanku paling ngeri selama naik ketinting yaitu ketika harus menyusuri sungai di malam hari. 

Saat itu kami nggak ada yang bawa senter. Hanya bergantung cahaya bulan. Hape pun nggak berani kukeluarin karena takut kesiram air. 

Di moment itu, ku mendadak sangat religius. Doa naik kendaraan kubaca berulang kali. Nggak lupa suratan pendek sama ayat kursi. 

Intinya di moment itu aku sadar bahwa aku belum siap untuk mati. Apalagi mati hanyut di sungai. 


Minggu, 23 April 2023

I Got History, Got Me Feeling the Nostalgia



Menghabiskan moment liburan Idul Fitri dengan rebahan di kamar kos, kadang membuatku kehabisan aktivitas apalagi yang harus dilakukan. Tak ayal aku makin jadi tambah kangen dengan keluarga di kampung. Surplusnya waktu yang kupunya membuatku jadi sering mendadak nostalgia.

Seingatku kenangan-kenangan berkesan lebaran tercipta ketika aku masih di Sekolah Dasar. Fase itu aku benar-benar bahagia ketika lebaran tiba. Ya namanya juga bocil. Menjelang SMP hingga saat ini lebaran tak semanis dulu lagi. Apalagi sejak kepergian kedua kakekku, selalu ada ruang kosong yang tak pernah terisi kembali.

Saat menjadi anak satu-satunya, ketika lebaran ibu bisa membelikanku pakaian beserta pernak-perniknya hingga 7 stel. Pagi, siang, malam dresscode-ku berbeda semua. Uang yang kudapatkan dari para sodara juga tak terhingga, walau ya akhirnya menjadi korban investasi bodong ibuku.

Tak ada pikiran serius di hari lebaran. Setelah berkeliling ke rumah sodara, waktuku akan habis untuk nongkrong di warung, naik komedi putar dan delman. Aku benar-benar lupa ketika sudah berada di area permainan dan makanan. Menjelang maghrib biasanya baru ingat untuk pulang ke rumah atau ketika uangku sudah habis.

Di hari lebaran 3, keluargaku dari pihak Bapak akan mengunjungi rumahku. Dan ketika mereka pulang aku juga turut serta untuk menginap di rumah sodara ayah. Durasi menginapku bisa sampai seminggu. Bergantian menginap di rumah adik nenekku dan rumah nenekku.

Di rumah adik nenek, aku bertemu dengan sodara dan sepupu-sepupu dari luar kota. Kami akan main video game (apa PS ya) seharian. Tapi aku cuma bisa main billiard sama balap motor aja sih. Seneng banget saat itu pokoknya. Namun ada satu yang nggak kusuka saat nginep di rumah adik nenek, yaitu WC yang rusak. Alhasil tiap mau BAB aku harus ke sungai dulu. Untung aja ku tidak pernah kebelet di malam hari.

Ketika sudah menghabiskan waktu beberapa hari di rumah adik nenek, aku pun berpindah tempat nginapnya; ke rumah nenek. Di sana juga tinggal sepupuku (anak dari Adik Bapakku). Agendaku juga sama; bermain dan menghabiskan uang untung membeli kembang api.

Menjelang liburan berakhir, aku diantar pulang oleh almarhum Kakek ke rumah. Jarak rumah kami sekitar 10 KM, namun ntah mengapa dulu terasa sangat jauuuhh sekali.

Ketika aku masih SD, kedua buyut perempuanku juga masih ada. Aku paling suka ketika main ke rumah buyut dari pihak nenek, Mak Wo Ndut. Di belakang rumahnya ada ayunanan dan perosotan, jadi aku bisa tahan seharian main-main di sama. Kini kedua buyutku dan kedua kakekku sudah bahagia dan tenang bersama Tuhan. 

Ah menulis ini membuatku rindu sekali dengan mereka, rindu sekali dengan moment di masa kecilku. Aku juga rindu dengan kedua nenekku di kampung. Bapak, ibu dan kedua adikku. Semoga semuanya selalu sehat aamiin aamiin.

Senin, 27 Maret 2023

Hai . . . .



Hai . . .

Setelah sekian lama ingatan saya kembali lagi. Akhirnya saya menyadari jika saya memiliki akun blogspot ini wkwkwkwk. Banyak hal terjadi, banyak hal sudah saya lalui.

Sebenarnya ini nggak penting, tapi biar ada bahan untuk nulis, maka saya akan memberikan fakta-fakta tentang hidup saya yang gini-gini aja.

1.   Saya masih hidup (Ketika menulis ini)

2.   Saya tambah tua (tapi tidak tambah dewasa T_T)

3.   Saya tidak berdomisili di Pulau Sumatera lagi

4.   Saya masih suka Oppa Oppa Korea

5. Saya masih sayang dan kangen banget sama dia (ini paling sentimentil dan euuuwww)

 

Semoga setelah ini saya bisa rajin posting di blog ini lagi. Ya walaupun postingannya tidak ada faedahnya untuk  kemajuan nusa dan bangsa.

Sampai berjumpa lagi di postingan saya selanjutnya  (semoga).

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis