Akhir-akhir ini urusan duniawi (Baca: pekerjaan) membuat hari dan hatiku lumayan suram. Tekanan-tekanan yang kuterima membangkitkan sebuah kecemasan dan berujung opini: sepertinya aku memang tidak layak berada di posisi ini.
Segalanya terasa berat karena memang sedang terjadi. Kurasa jika sudah terlalui, aku hanya akan tertawa dan mungkin sedikit berbangga akan upaya bertahanku hingga fase itu pergi.
Dipikir-pikir, dari tahun ke tahun masalahku hanya berputar-putar ke urusan pekerjaan saja. Hanya pemeran, setting lokasi dan isunya saja yang berbeda. Tanpa ada keinginan berdusta pada diri sendiri, kuakui kali ini memang cukup melukai.Ya semoga tak ada dendam yang menyertainya.
Pengalaman sakit-sembuh ini membuatku mempunyai ide aneh dan tidak berkorelasi: aku ingin menjadi istri dari seorang petani. Sebuah praktik yang banyak ditemui di kampung halamanku.
Tanpa memandang rendah profesi lain, bagiku suami petani sangat cocok dengan sebuah kondisi yang kubutuhkan di masa depan. Catat ya, KUBUTUHKAN bukan KUINGINKAN.
Kurasa aku butuh rehat sejenak dari hubungan basa basi atas nama koordinasi dan interaksi dengan mayoritas manusia yang punya kuasa. Sudah cukup melelahkan bukan?
Rasanya bukan gagasan aneh jika hari-hariku seharusnya berfokus pada alam dan tumbuhan. Toh secara historis dan empiris aku sebenarnya juga berasal dari keluarga petani.
Aku membutuhkan sebuah rutinitas yang berbeda. Kubayangkan rutinitas ini akan menyenangkan ya walaupun melelahkan secara fisik. Kurasa aku akan lanjut menuliskan gambaran rutinitas itu.
Jadi aku dan suamiku akan terbangun ketika adzan Subuh. Kalau aku mendapatkan suami yang taat pada Allah SWT, seharusnya kami akan sholat berjamaah dan mungkin mengaji bersama setelahnya. Jika suamiku paham akan kesehatan, ia akan mengajakku marathon mengelilingi kebun teh. Walaupun setelah kupikir-pikir, kegiatan itu bisa dicoret saja karena nantinya kami juga akan mengeluarkan keringat ketika bekerja di ladang.
Anggap saja sholat dan tadarus telah kami lakukan. Aku bergegas masak untuk makan kami yang terhitung: makan pagi, siang dan malam. Ya walaupun makan malam akan kuusahakan untuk nego dengan suamiku agar kami makan di luar saja hehe.
Sementara aku memasak, suamiku dengan penuh inisiatif membantuku mencuci pakaian dan piring kotor. Aku akan makin senang jika ia bersedia menyapu halaman rumah sambil menyiram bunga dan tanaman sayuran kami lainnya.
Singkat cerita, makanan tersedia, pakaian terjemur, halaman rumah sudah disapu, tiba saatnya kami berangkat ke ladang mengendarai motor ladang andalan suamiku.
Sesampainya di ladang kami tidak langsung bekerja melainkan sarapan sambil bercerita. Mungkin aku akan bertanya apakah club bola kesukaannya menang. Atau aku akan menceritakan drama Korea yang kutonton. Atau hanyan obrolan sebatas topik harga komoditas pertanian yang naik turun. Apapun itu, aku ingin menceritakan semua padanya.
Setelah selesai sarapan, berjam-jam akan kami habiskan dengan berinteraksi pada tanaman. Ntah dia memberi pupuk tanaman kentang kami. Aku menyiangi rumput di sela-sela tanaman cabe. Kami berhenti sejenak untuk melepas dahaga.
Ketika adzan Dzuhur berkumandang. Seharusnya kami akan menunaikan kewajiban sebagai umat Islam. Dilanjutkan dengan makan siang, lagi lagi sambil bercerita. Kurasa obrolan kami lebih banyak aku yang mendominasi karena suamiku ini tipe pendiam.
Perkara duniawi dan akhirat selesai, kami melanjutkan pekerjaan; fokus kepada tanaman lagi. Menjelang adzan Ashar, sudah saatnya kami berpamitan pada ladang dan tanaman, kembali ke rumah.
Di rumah aktifitas kami selanjutnya tentu sudah bisa ditebak; mandi, sholat, makan malam dan beristirahat setelah seharian dipanggang matahari. Sebagai manusia yang clingy, aku akan melakukan hal-hal manja kepada suamiku. Aku akan memaksanya menonton film pilihanku secara bersama-sama. Aku tidak peduli jika genrenya tidak cocok untuknya.
Dan pada akhirnya tiba di jam yang menunjukkan waktu untuk tidur. Aktifitas kami terhenti untuk sementara waktu. Berlanjut kembali di hari esoknya seperti yang sudah-sudah.
Kurasa hanya ada pembeda dua hari saja. Pertama, hari Jum'at. Kami harus pulang lebih cepat karena dia akan menunaikan sholat Jum'at. Kedua, hari pasaran di desa. Kami akan beristirahat total di hari itu.
Well begitulah sebuah rutinitas yang kupikir aku membutuhkannya. Berkaca pada apa yang kulakukan sekarang dan membuatku tidak begitu bahagia, kurasa aku butuh sesuatu yang sederhana saja.
Ya kurasa aku memang membutuhkannya. Dan perlu kucatat, kebutuhan dan keinginan adalah dua hal yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar