Sumber foto: Dokumentasi WALHI Jambi
Sepanjang tahun 2015 hingga
2019, rasanya energi kita habis untuk menangani kebakaran hutan dan lahan
(karhutla) serta kabut asap. Ada kesan bahwa pemerintah menjadi gagap dan gugup
menangani karhutla dan kabut asap, padahal peristiwa tersebut bukan kali pertama
ditangani oleh Indonesia.
Hampir setiap tahun,
kejadian yang sama terus terjadi. Dan setiap tahun pula, Indonesia menerima
kritikan tajam dari negara tetangga atas kiriman asap. Pada puncaknya, karhutla
dan kabut asap yang terjadi telah meneror puluhan juta penduduk di Sumatera dan
Kalimantan.
Penanganan terhadap upaya
pemadaman api dan penanggulangan asap menghadapi banyak tantangan. Pada
akhirnya api dan asap memang berhenti menjelang akhir tahun. Namun, itu mungkin
tidak akan terjadi tanpa adanya faktor alam berupa musim penghujan yang hadir
pada penghujung tahun.
Di tahun 2019, tercatat luas
lahan di Provisnsi Jambi yang terbakar mencapai 56.593,00 ha (1). Kebakaran
tersebut terjadi karena pembukaan lahan untuk perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman
Industri), baik dilakukan oleh konsesi, oknum maupun masyarakat yang membuka
lahan dengan cara tebang bakar (slash and burn). Selain itu, ketidakpatuhan
konsesi perusahaan dalam melakukan restorasi juga menjadi penyebab lain
kebakaran hutan dan lahan.
Kebakaran hutan dan lahan
yang terjadi di Provinsi Jambi bukanlah sekadar bencana yang menghanguskan
pepohonan, merusak ekosistem hutan, dan menyemburkan emisi karbon ke udara,
tetapi adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Kebakaran hutan dan lahan
semakin layak disebut sebagai tragedi kemanusiaan jika melihat dampak dari
kabut asap yang berimbas pada berbagai sektor kehidupan masyarakat secara luas.
Selain berdampak pada
lingkungan dan krisis ekologi, kebakaran hutan juga berdampak secara signifikan
kepada perempuan. Hasil penelitian menujukkan perempuan menjadi korban dari
kebakaran hutan.
Ditemukan bahwa pembakaran
hutan dan lahan merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap alam dan patriarki
menyebabkan korban dari permasalahan ini sebagian besar adalah perempuan baik
terkait kesehatan reproduksi perempuan, ketahanan pangan keluarga maupun
kesejahteraan sosial.
Penegakan hukum yang kuat
merupakan pondasi untuk penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu, bisa memaksa perusahaan membayarkan ganti rugi. Uang ganti rugi
tersebut kelak, dapat dipakai untuk berbagai upaya pencegahan karhutla seperti
rehabilitasi lahan.
Jadi, di masa pandemi ini,
akankah Karhutla kembali terjadi? Selama penegakan hukum masih tebang pilih,
tak konsisten, dan tak tegas kepada perusahaan pelaku kebakaran
hutan, maka kejadian seperti ini akan terus terjadi.
Salam Adil dan Lestari
#jagalingkungan
#jagaperempuan
#pulihkanJambi
#pulihkanIndonesia
Sumber:
(1) http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar