Minggu, 14 Maret 2021

Bayang-Bayang Karhutla di Masa Pandemi

 

Sumber foto: Dokumentasi WALHI Jambi


Sepanjang tahun 2015 hingga 2019, rasanya energi kita habis untuk menangani kebakaran hutan dan lahan (karhutla) serta kabut asap. Ada kesan bahwa pemerintah menjadi gagap dan gugup menangani karhutla dan kabut asap, padahal peristiwa tersebut bukan kali pertama ditangani oleh Indonesia.

Hampir setiap tahun, kejadian yang sama terus terjadi. Dan setiap tahun pula, Indonesia menerima kritikan tajam dari negara tetangga atas kiriman asap. Pada puncaknya, karhutla dan kabut asap yang terjadi telah meneror puluhan juta penduduk di Sumatera dan Kalimantan.

Penanganan terhadap upaya pemadaman api dan penanggulangan asap menghadapi banyak tantangan. Pada akhirnya api dan asap memang berhenti menjelang akhir tahun. Namun, itu mungkin tidak akan terjadi tanpa adanya faktor alam berupa musim penghujan yang hadir pada penghujung tahun.

Di tahun 2019, tercatat luas lahan di Provisnsi Jambi yang terbakar mencapai 56.593,00 ha (1). Kebakaran tersebut terjadi karena pembukaan lahan untuk perkebunan dan HTI (Hutan Tanaman Industri), baik dilakukan oleh konsesi, oknum maupun masyarakat yang membuka lahan dengan cara tebang bakar (slash and burn). Selain itu, ketidakpatuhan konsesi perusahaan dalam melakukan restorasi juga menjadi penyebab lain kebakaran hutan dan lahan. 

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Provinsi Jambi bukanlah sekadar bencana yang menghanguskan pepohonan, merusak ekosistem hutan, dan menyemburkan emisi karbon ke udara, tetapi adalah sebuah tragedi kemanusiaan. Kebakaran hutan dan lahan semakin layak disebut sebagai tragedi kemanusiaan jika melihat dampak dari kabut asap yang berimbas pada berbagai sektor kehidupan masyarakat secara luas.

Selain berdampak pada lingkungan dan krisis ekologi, kebakaran hutan juga berdampak secara signifikan kepada perempuan. Hasil penelitian menujukkan perempuan menjadi korban dari kebakaran hutan.

Ditemukan bahwa pembakaran hutan dan lahan merupakan suatu bentuk kejahatan terhadap alam dan patriarki menyebabkan korban dari permasalahan ini sebagian besar adalah perempuan baik terkait kesehatan reproduksi perempuan, ketahanan pangan keluarga maupun kesejahteraan sosial. 

Penegakan hukum yang kuat merupakan pondasi untuk penanggulangan bencana kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, bisa memaksa perusahaan membayarkan ganti rugi. Uang ganti rugi tersebut kelak, dapat dipakai untuk berbagai upaya pencegahan karhutla seperti rehabilitasi lahan.

Jadi, di masa pandemi ini, akankah Karhutla kembali terjadi? Selama penegakan hukum masih tebang pilih, tak konsisten, dan tak tegas kepada  perusahaan pelaku kebakaran hutan, maka kejadian seperti ini akan terus terjadi.

Salam Adil dan Lestari

#jagalingkungan #jagaperempuan

#pulihkanJambi #pulihkanIndonesia        



 Sumber:

(1) http://sipongi.menlhk.go.id/hotspot/luas_kebakaran)

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis