Senin, 30 September 2019

Aku, Bapak, dan Bang Haji Rhoma Irama



Foto: Google
Suara musik terdengar sayup-sayup dari sebuah warung. Mengalunkan lagu dangdut sarat kenangan dari group musik legendaris. Aku tertegun. Lagu ini membawaku ke kampung nan jauh dari jangkauan, tempat orangtuaku berada.
                Sejenak aku seperti diserang perasaan nelangsa. Rindu menghampiriku secara tiba-tiba. Irama, nada, dan sajak Soneta berhasil mengingatkanku akan sosok pria yang jasa-jasanya tak terhitung lagi untukku. Ya, Bang Haji Rhoma Irama turut andil akan segala kekacauan di benakku.
***
September 1995, Bapakku mengikat janji suci dengan seorang perempuan yang kemudian menjadi Ibu kandungku. Tak usahlah aku menceritakan bagaimana romansa mereka itu, toh tulisanku ini bukan tentang kisah cinta dua sejoli itu.
                September 1996, aku lahir. Saat itu, Bapak berusia 22 tahun. Sekadar info, Bapak lahir pada tanggal 30 September 1974.  Meminjam istilah jaman sekarang, Bapak ialah seorang “Pamud atau Papa Muda”.
Di jaman sekarang atau anak millennial menyebutnya jaman now, usia 22 tahun terbilang masih sangat muda untuk membina mahligai rumah tangga. Sangat berbeda dengan jaman dulu, 22 tahun merupakan usia yang cukup ideal. Apalagi di lingkungan pedesaan, seperti tempatku. Oh iya, aku berasal dari sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Bapak adalah seorang seniman. Saat aku masih kecil, ia rutin sekali melukis. Melukis pemandangan alam, melukis perempuan, melukis wayang, melukis abstrak. Dan menurutku lukisan Bapak bagus (aku berbicara jujur, bukan subjektif). Bapak juga anak band. Ia mampu memainkan segala jenis alat musik.
Ia pernah mempunyai band yang ngehits di jamannya, dan kerap manggung di sekitar wilayah Kerinci tentunya. Band itu bernama “Kartika”, yang kemudian menjadi namaku. Ia menamaiku Kartika, karena wujud kecintaannya terhadap band tersebut. Toh nama Kartika juga mempunyai arti yang bagus.
 Sedari dulu aku begitu terobsesi untuk menjadi seperti Bapak dalam hal yang positif. Positif? Ya positif. Bapak juga manusia, ia pasti punya kekhilafan yang tak bisa kunafikkan. Apalagi ia berkeluarga di usia muda, usia yang menurutku masih sangat labil. Walaupun begitu, aku percaya bahwa Bapak selalu berusaha untuk menjadi orangtua yang baik untuk anaknya.
Aku ingin bisa melukis seperti Bapak. Namun sedihnya, bakat itu justru ingkar terhadapku. Aku sama sekali tidak berbakat dalam dunia melukis. Pernah aku melukis ikan mas berwana merah yang sangat cantik, namun hasilnya malah seperti ikan mas yang sedang sakit gigi. Satu yang aku pahami; aku hanya bisa menggambar kutu rambut.
Aku juga ingin bisa memainkan alat musik. Di rumahku, ada beberapa jenis alat musik yang menggoda untuk kumainkan. Ada gitar, biola, seruling, terompet. Dulu ketika aku masih kecil juga ada piano yang harus dijual karena krisis moneter melanda keluargaku. Bapak juga pernah membelikanku piano mini ketika aku masih kecil.
Ketersediaan fasilitas, keinginan yang kuat, ternyata tetap sia-sia jika tidak diimbangi dengan kerja keras. Walaupun aku ingin mahir bermain gitar, namun aku tidak gigih mempelajarinya. Bahkan, walau aku memiliki piano mini, sampai sekarang satu-satunya lagu yang bisa kumainkan hanya “Ibu Kita Kartini”.
Berbicara soal alat musik, aku tiba-tiba jadi ingin membahas soal musik. Sebuah hal yang paling akrab di telingaku.
Alkisah, Bapak yang jaman mudanya gondrong -seperti vokalis Guns N’ Roses- sangat mengidolakan Rhoma Irama. Saking gilanya dengan Bang Haji, ia kerap menirukan aksi Sang Raja Dangdut itu dengan menjadikan sapu sebagai pengganti gitar. Di kamarnya, dipenuhi poster-poster Rhoma dari masa ke masa. Koleksi album lagu Soneta, tak usah ditanya lagi.
Sekarang, Bapak juga masih gondrong  dan masih amat sangat mengidolakan Rhoma Irama tentu saja. Ia memang sudah tidak menirukan Rhoma Irama dengan sapu sebagai gitar, tapi poster-poster Rhoma Irama masih menghiasi rumah. Bahkan bisa dibilang lebih banyak poster Rhoma daripada fotoku yang terpajang.
Mengenai koleksi CD Soneta? Makin banyak. Bahkan aku sering heran, di era digital seperti ini kenapa ia masih memilih untuk mengoleksi album lagu dalam bentuk fisik.
Kegemaran Bapak ini rupanya turut berpengaruh terhadapku. Tanpa disadari, aku menjadi akrab dengan sosok Rhoma Irama dan hafal sekian banyak lagunya. Gimana tidak hafal, sejak aku tahu akan dunia dan sadar akan keberadaanku di dunia, aku sudah mendengar lagu-lagu Rhoma Irama.   
Pagi menjelang beraktifitas lagu Rhoma Irama diputar. Siang sepulang Bapak mengajar, lagu Rhoma Irama diputar. Sore ketika mengajar anak les komputer, lagu Rhoma Irama diputar. Bisa dibilang, lagu Rhoma Irama sudah seperti kebutuhan pokok. Sandang, pangan, papan, Soneta.
Tidak hanya aku yang akrab dengan Rhoma, kedua Adikku pun begitu. Malahan Adikku yang laki-laki, lagu pertama yang bisa ia nyanyikan bukan “Balonku ada Lima” “Twinkle Twinkle Little Star” atau “Cicak-cicak di Dinding” melainkan “Bersakit-sakit ke hulu, berenang ke tepian . . . . “.
Jujur, walaupun aku tidak suka dengan kehidupan pribadi Rhoma Irama dan pandangan politiknya,  aku  tetap kagum dengan kiprah Rhoma Irama di belantika permusikan Indonesia, bahkan dunia. Aku tak memungkiri jika lagu-lagu yang ia ciptakan merupakan sebuah mahakarya. Ada pesan positif dari lagu-lagunya. Pesan untuk menghormati orangtua, terkhusus Ibu. Mengingatkan akan bahaya begadang, judi, zinah.
Bukan hanya Rhoma Irama yang mendoktrinku lewat Bapak. Bee Gees, The Rolling Stone, Iwan Fals, Koes Plus, Mashabi, Ona Sutera, adalah tokoh-tokoh yang turut mewarnai masa kecilku. Apa yang diputar oleh Bapak, terdengar olehku, itulah yang kemudian menjadi candu.
Selera musikku mirip dengan selera musik Bapak, kecuali musik metal dan rap. Bapak benci sekali ketika aku memutar lagu Eminem atau Metallica dengan volume sekeras-kerasnya. Sepertinya untuk yang satu ini, tidak hanya Bapak yang benci, tapi juga para tetanggaku.
Bapak juga pandai menulis. Aku pernah membaca kumpulan surat-surat cinta yang ia kirimkan kepada Ibu sewaktu masa putih abu-abu. Puitis, seperti Kahlil Gibran. Dan kini aku percaya akan teori saat aku belajar Sosiologi sewaktu SMA, bahwa; keluarga adalah lingkungan terdekat yang mempengaruhi seorang individu.
***
Sampai di detik aku menulis kalimat ini, beberapa bulir airmata sukses berjatuhan tanpa sengaja. Ahh mengapa selalu ada selaksa haru dan rindu saat teringat orangtua.
Bapak, ribuan kilo jarak memang memisahkan raga kita. Tapi, selalu ada benang merah yang membuat jiwa kita selalu terikat. Salam rindu berangkaian doa. Maafkan aku masih menjadi anak nakal nan merepotkan.  
                Munajatku masih klise; semoga Bapak selalu sehat dan berada dalam lindungan Sang Khalik, mendapat rezeki yang halal, lancar, dan penuh berkah. Dan munajat yang terpenting; semoga kiriman uang bulananku ditambah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis