Foto: Google
Suara musik terdengar sayup-sayup dari
sebuah warung. Mengalunkan lagu dangdut sarat kenangan dari group musik
legendaris. Aku tertegun. Lagu ini membawaku ke kampung nan jauh dari
jangkauan, tempat orangtuaku berada.
Sejenak
aku seperti diserang perasaan nelangsa. Rindu menghampiriku secara tiba-tiba.
Irama, nada, dan sajak Soneta berhasil mengingatkanku akan sosok pria yang
jasa-jasanya tak terhitung lagi untukku. Ya, Bang Haji Rhoma Irama turut andil
akan segala kekacauan di benakku.
***
September
1995, Bapakku mengikat janji suci dengan seorang perempuan yang kemudian
menjadi Ibu kandungku. Tak usahlah aku menceritakan bagaimana romansa mereka
itu, toh tulisanku ini bukan tentang kisah cinta dua sejoli itu.
September
1996, aku lahir. Saat itu, Bapak berusia 22 tahun. Sekadar info, Bapak lahir
pada tanggal 30 September 1974. Meminjam
istilah jaman sekarang, Bapak ialah seorang “Pamud atau Papa Muda”.
Di jaman
sekarang atau anak millennial menyebutnya jaman now, usia 22 tahun terbilang masih sangat muda untuk membina
mahligai rumah tangga. Sangat berbeda dengan jaman dulu, 22 tahun merupakan
usia yang cukup ideal. Apalagi di lingkungan pedesaan, seperti tempatku. Oh
iya, aku berasal dari sebuah desa yang terletak di Kecamatan Kayu Aro,
Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi.
Bapak adalah
seorang seniman. Saat aku masih kecil, ia rutin sekali melukis. Melukis
pemandangan alam, melukis perempuan, melukis wayang, melukis abstrak. Dan
menurutku lukisan Bapak bagus (aku berbicara jujur, bukan subjektif). Bapak
juga anak band. Ia mampu memainkan segala jenis alat musik.
Ia pernah
mempunyai band yang ngehits di jamannya, dan kerap manggung di sekitar wilayah
Kerinci tentunya. Band itu bernama “Kartika”, yang kemudian menjadi namaku. Ia
menamaiku Kartika, karena wujud kecintaannya terhadap band tersebut. Toh nama
Kartika juga mempunyai arti yang bagus.
Sedari dulu aku begitu terobsesi untuk menjadi
seperti Bapak dalam hal yang positif. Positif? Ya positif. Bapak juga manusia,
ia pasti punya kekhilafan yang tak bisa kunafikkan. Apalagi ia berkeluarga di
usia muda, usia yang menurutku masih sangat labil. Walaupun begitu, aku percaya
bahwa Bapak selalu berusaha untuk menjadi orangtua yang baik untuk anaknya.
Aku ingin bisa
melukis seperti Bapak. Namun sedihnya, bakat itu justru ingkar terhadapku. Aku
sama sekali tidak berbakat dalam dunia melukis. Pernah aku melukis ikan mas
berwana merah yang sangat cantik, namun hasilnya malah seperti ikan mas yang
sedang sakit gigi. Satu yang aku pahami; aku hanya bisa menggambar kutu rambut.
Aku juga ingin
bisa memainkan alat musik. Di rumahku, ada beberapa jenis alat musik yang
menggoda untuk kumainkan. Ada gitar, biola, seruling, terompet. Dulu ketika aku
masih kecil juga ada piano yang harus dijual karena krisis moneter melanda
keluargaku. Bapak juga pernah membelikanku piano mini ketika aku masih kecil.
Ketersediaan
fasilitas, keinginan yang kuat, ternyata tetap sia-sia jika tidak diimbangi
dengan kerja keras. Walaupun aku ingin mahir bermain gitar, namun aku tidak
gigih mempelajarinya. Bahkan, walau aku memiliki piano mini, sampai sekarang
satu-satunya lagu yang bisa kumainkan hanya “Ibu Kita Kartini”.
Berbicara soal
alat musik, aku tiba-tiba jadi ingin membahas soal musik. Sebuah hal yang
paling akrab di telingaku.
Alkisah, Bapak
yang jaman mudanya gondrong -seperti vokalis Guns N’ Roses- sangat mengidolakan
Rhoma Irama. Saking gilanya dengan Bang Haji, ia kerap menirukan aksi Sang Raja
Dangdut itu dengan menjadikan sapu sebagai pengganti gitar. Di kamarnya,
dipenuhi poster-poster Rhoma dari masa ke masa. Koleksi album lagu Soneta, tak
usah ditanya lagi.
Sekarang,
Bapak juga masih gondrong dan masih amat
sangat mengidolakan Rhoma Irama tentu saja. Ia memang sudah tidak menirukan
Rhoma Irama dengan sapu sebagai gitar, tapi poster-poster Rhoma Irama masih
menghiasi rumah. Bahkan bisa dibilang lebih banyak poster Rhoma daripada fotoku
yang terpajang.
Mengenai
koleksi CD Soneta? Makin banyak. Bahkan aku sering heran, di era digital
seperti ini kenapa ia masih memilih untuk mengoleksi album lagu dalam bentuk
fisik.
Kegemaran
Bapak ini rupanya turut berpengaruh terhadapku. Tanpa disadari, aku menjadi
akrab dengan sosok Rhoma Irama dan hafal sekian banyak lagunya. Gimana tidak hafal,
sejak aku tahu akan dunia dan sadar akan keberadaanku di dunia, aku sudah
mendengar lagu-lagu Rhoma Irama.
Pagi menjelang
beraktifitas lagu Rhoma Irama diputar. Siang sepulang Bapak mengajar, lagu
Rhoma Irama diputar. Sore ketika mengajar anak les komputer, lagu Rhoma Irama
diputar. Bisa dibilang, lagu Rhoma Irama sudah seperti kebutuhan pokok.
Sandang, pangan, papan, Soneta.
Tidak hanya
aku yang akrab dengan Rhoma, kedua Adikku pun begitu. Malahan Adikku yang
laki-laki, lagu pertama yang bisa ia nyanyikan bukan “Balonku ada Lima” “Twinkle
Twinkle Little Star” atau “Cicak-cicak di Dinding” melainkan “Bersakit-sakit ke
hulu, berenang ke tepian . . . . “.
Jujur,
walaupun aku tidak suka dengan kehidupan pribadi Rhoma Irama dan pandangan
politiknya, aku tetap kagum dengan kiprah Rhoma Irama di belantika
permusikan Indonesia, bahkan dunia. Aku tak memungkiri jika lagu-lagu yang ia
ciptakan merupakan sebuah mahakarya. Ada pesan positif dari lagu-lagunya. Pesan
untuk menghormati orangtua, terkhusus Ibu. Mengingatkan akan bahaya begadang,
judi, zinah.
Bukan hanya
Rhoma Irama yang mendoktrinku lewat Bapak. Bee Gees, The Rolling Stone, Iwan
Fals, Koes Plus, Mashabi, Ona Sutera, adalah tokoh-tokoh yang turut mewarnai
masa kecilku. Apa yang diputar oleh Bapak, terdengar olehku, itulah yang
kemudian menjadi candu.
Selera musikku
mirip dengan selera musik Bapak, kecuali musik metal dan rap. Bapak benci
sekali ketika aku memutar lagu Eminem atau Metallica dengan volume
sekeras-kerasnya. Sepertinya untuk yang satu ini, tidak hanya Bapak yang benci,
tapi juga para tetanggaku.
Bapak juga
pandai menulis. Aku pernah membaca kumpulan surat-surat cinta yang ia kirimkan
kepada Ibu sewaktu masa putih abu-abu. Puitis, seperti Kahlil Gibran. Dan kini
aku percaya akan teori saat aku belajar Sosiologi sewaktu SMA, bahwa; keluarga
adalah lingkungan terdekat yang mempengaruhi seorang individu.
***
Sampai di
detik aku menulis kalimat ini, beberapa bulir airmata sukses berjatuhan tanpa
sengaja. Ahh mengapa selalu ada selaksa haru dan rindu saat teringat orangtua.
Bapak, ribuan
kilo jarak memang memisahkan raga kita. Tapi, selalu ada benang merah yang
membuat jiwa kita selalu terikat. Salam rindu berangkaian doa. Maafkan aku
masih menjadi anak nakal nan merepotkan.
Munajatku
masih klise; semoga Bapak selalu sehat dan berada dalam lindungan Sang Khalik,
mendapat rezeki yang halal, lancar, dan penuh berkah. Dan munajat yang
terpenting; semoga kiriman uang bulananku ditambah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar