Sabtu, 10 Juni 2017

Seandainya Nicholas Saputra yang jadi Presiden Mahasiswa UNJA




Beberapa waktu lalu, Universitas Jambi “sukses” melaksanakan pesta demokrasi mahasiswa atau akrab disapa Pemira UNJA. Sebagai seorang pengamat politik KW9, saya menilai pesta demokrasi ini sungguh suatu pesta yang membosankan, kenapa? Karena tidak ada organ tunggal dan Rentak Kudonya. Sehingga saya tidak bisa berdendang  “eh iya lah iya lah”.
Dari pesta tanpa prasmanan tersebut, terpilihlah “ksatria-ksatria” yang janji-janjinya paling dipercaya. Menjelang masa “penobatan”,  yang menang sudah mulai pilah-pilih menteri untuk kabinet kerja. Sedangkan pasangan calon yang kalah hanya bisa meratapi,  dengan mendengarkan quote-quote Super Mario Bross di bawah pohon Serry.
Tidak seperti Pilkada Jakarta yang mencuri perhatian seantero Indonesia, pemira UNJA hanya viral di kalangan anggota partai kampus dan beberapa mahasiswa yang memiliki partisipasi aktif di dunia perpolitikan kampus saja. Dari persepektif mata keranjang  pakar politik KW9, Pemira UNJA tidak begitu menggairahkan, kenapa? Karena  calonnya nggak ada yang segagah Bang Agus Harimurti, seganteng Om Sandiaga Uno, Setegas Ko Ahok, dan sekomunikatif Mas Anies.
Dari kenyataan tersebut, saya kok jadi ingin berandai-andai, berfantasi seandainya Nicholas Saputra alias si Rangga alias calon suami saya, yang menjadi Presiden Mahasiswa UNJA. Sungguh khayalan tingkat tinggi setinggi-tingginya. Eh tapi jangan salah loh ya, Mengkhayal adalah kemewahan di Indonesia. Pada zaman Orde Baru, bermimpi saja dilarang. Jangan mengkhayal! Begitu terdengar larangan di mana-mana. Anak kecil, orang tua, pria dan wanita tidak boleh melamun. Kecuali, barangkali kalau ada izin. Pada masa itu (1996-1998) segala sesuatu perlu izin. Bikin Koran perlu izin, kencing perlu izin, bahkan bernafas pun perlu izin. Kabar terakhir, sebelum Jendral Soeharto berhenti, banyak orang ke Singapura hanya untuk periksa gigi. Masalahnya, di Indonesia orang tak bebas buka mulut. Lah ini kenapa jadi ngomongin Pak Harto? Memangnya dia Kakeknya si Rangga apa.
Eh sebelumnya saya mau bilang, kalau Rangga dan Nicholas Saputra itu sama saja bagi saya. Hanya Nicholas Saputra yang pantas menjadi Rangga. Saya nggak bisa bayangin kalau yang jadi Rangga itu Azis Gagap, Yanglek atau Sule. Wah karakter Rangga bisa dibully sepanjang hidupnya.
 Nah biar khayalan saya agak bekualitas, maka saya uraikan sebab akibat seandainya Nicholas Saputra jadi Presiden Mahasiswa UNJA. Ini hasil survei dari Ikatan Pecinta Nicholas Saputra dari Buaian Hingga ke Liang Lahat.
Menekan Angka Golput
Sosok Rangga menjadi justifikasi pria ideal yang tak jarang hampir selalu menjadi pujaan. Kombinasi wajah tampan, kesan raut muka karakter Rangga yang keren dan cenderung dingin, namun memiliki sifat sangat kritis, cerdas dan romantis seolah menjadi sebuah kombinasi sempurna untuk menyebut Rangga adalah pria brengsek yang dicintai dan dipuja.
Kalau sudah begitu, siapa sih perempuan yang bisa mendustai kharismanya. Oleh karena itu, saya yakin tingkat partisipasi di Pemira UNJA angkat meningkat tajam, setajam kata-kata mantan. Logikanya kalau tidak bisa menjadikan Rangga  sebagai kepala rumah tangga, ya menjadikan dia sebagai kepala di Badan Eksekutif Mahasiswa jadilah.  Jangankan mahasiswi. Ayuk-ayuk kantin pun seandainya punya hak suara, pasti bakalan milih Rangga.
Penikmat puisi dan penggagum Chairil Anwar
Tidak semua pria pintar mengarang dan menulis puisi loh ya, dan biasanya pria berjiwa seni selalu menarik di mata Kaum Hawa. Nah kalau si Rangga yang jadi Presiden Mahasiswa, dia akan merubah cara menolak kebijakan pemerintah atau kampus dengan cara yang lebih berestetika. Berdemo dengan indah melalui untaian puisi, seperti Wiji Thukul. Eh saya nggak bilang yang demo bakar-bakar ban, “senggol-senggolan” dengan aparat dan bikin macet jalan, itu salah loh ya. Hanya saja ada cara yang lebih elegan dalam mempertanyakan keadilan, salah satunya dengan bersastra. Ya menyuarakan keadilan juga bisa lewat sastra, karena sastra adalah setiap upaya untuk menggali suara dari nurani melalui bahasa. Saya percaya bahwa kekuatan sebuah tulisan dalam mempengaruhi pikiran orang dan sekarang pun saya lebih percaya lagi jika sastra punya kekuatan besar untuk mempengaruhi jiwa dan pikiran orang.
Ganteng tapi tak banyak bicara
Orang itu berbeda-beda. Ada orang yang “camera face” atau orang yang sangat indah di kamera. Di kamera bagus tapi aslinya biasa. Di kamera kayak Yati Octavia begitu keluar kayak Yati Pesek. Di kamera secakep Jeremy Thomas, aslinya kayak Jeremy Teti. Lalu ada orang yang “Microfonis”, ini biasanya penyiar radio. Suara merayu, wajah menipu. Saya kasih tau ya, yang suaranya bagus-bagus biasanya wajahnya kurang menguntungkan.
Nah sedangkan si Rangga, sudah ganteng di dunia nyata, dunia maya, dan dunia gaib. Suaranya bikin hati perempuan dan es di Kutub Utara meleleh.
Lalu apa hubungannya dengan posisi Presiden Mahasiswa? Ini masalah etika Jok. Sekali lagi soal ETIKA. Jarang loh pria ganteng tapi tak banyak bicara. Seringnya itu ganteng, manis, nyegerin tapi benihnya ada di mana-mana, udah gitu gak mau diajak susah bareng lagi.  Duhh tolong ya, yang seperti itu musnahkan saja dari galaksi Bima Sakti ini. Astaga malah jadi cuhat. Intinya, bangga dong punya presiden mahasiswa yang etikanya baik.
Meneladani Zumi Zola
Walaupun sering terkena kabut asap, saya tetap bangga menjadi warga Jambi. Kenapa? Karena gubernurnya paling ganteng sejagat raya. Nah karena Bapak gubernur kita ganteng luar dalam(?), sudah seharusnya Universitas Jambi juga turut mengaplikasikannya dengan memiliki seorang Presiden Mahasiswa yang 11-12 sama Mr ZZZ. Ya walaupun dari analisa saya, agak susah jika harus menentukan siapa yang lebih ganteng, senyum siapa yang lebih mempesona, Rangga atau Zumi Zola? Ahh sungguh suatu analisa dari mata turun ke birahi hati sekali.
Pesan moral dari poin ini: Semoga prestasi memimpinnya juga seganteng wajahnya.
BEM Makin laris manis
Banyak alasan kenapa seorang mahasiswa memilih menjadi anggota BEM. Belajar beroganisasi, dak ado gawean, modusin senior, atau cuma nebeng nama saja. Seandainya Rangga jadi Presiden Mahasiswa UNJA, saya yakin 69% peminat BEM makin bertambah dan didominasi oleh Kaum Hawa yang ingin berkenalan dengan Pak Presiden. Kan seperti kata pepatah; tak kenal maka tak sayang, mau kenalan digampar pacar. Eh ngomong-ngomong kenapa keyakinan saya hanya 69%? Nggak papa sih, suka aja sama angka 69.

            Setelah ngota dan beriimajinasi panjang lebar, saya baru sadar kalau si Rangga itu kan masih anak SMA. Baru mimpi basah sikok duo kali. Masak iya mau jadi kepala mahanya siswa. Ahh tapi ya sudahlah. Pemira UNJA juga telah berlalu. Nasir sudah menjadi tukang bubur. Dan dengan segala kemanisan dan kekaleman, saya ucapkan selamat kepada pasangan yang terpilih. Selamat beraksi ketika harga cabe naik dan harga resleting karet turun. Selamat menyelenggarakan kegiatan seminar beasiswa, seminar kewirausahaan, seminar kepemimpinan. Dan selamat melaksanakan . . . eh apa lagi sih tugas dan wewenang BEM? Setahu saya selama ini yang cuma “itu” be lah.
Mari sama-sama kita ikut andil untuk kemajuan Kampus Pinang Masak tercinta. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing, sama-sama berat mending dipaketin lewat JNE aja. Mohon dimaklumi jika tulisan saya penuh dengan delusi dan jauh dari kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya  bukan manusia sempurna, sehingga merasa tidak pantas menggunakan EYD, ejaan yang sudah disempurnakan. Terakhir saya ingin berpesan ala ala Datuk Socrates. Sebuah  pesan untuk diri saya sendiri dan rekan-rekan yang hidup di dua alam, alam nyata dan alam angan-angan.
Fantasi akan harapan yang terlalu tinggi menyelimuti hidupmu. Hati-hati lho, terlalu berekpektasi itu sakit. Ya, sakit jiwa”.

NB: Tulisan ini pernah dimuat di Ngota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis