Beberapa waktu lalu,
Universitas Jambi “sukses” melaksanakan pesta demokrasi mahasiswa atau akrab
disapa Pemira UNJA. Sebagai seorang pengamat politik KW9, saya menilai pesta demokrasi
ini sungguh suatu pesta yang membosankan, kenapa? Karena tidak ada organ
tunggal dan Rentak Kudonya. Sehingga saya tidak bisa berdendang “eh iya
lah iya lah”.
Dari pesta tanpa prasmanan
tersebut, terpilihlah “ksatria-ksatria” yang janji-janjinya paling dipercaya. Menjelang
masa “penobatan”, yang menang sudah mulai
pilah-pilih menteri untuk kabinet kerja. Sedangkan pasangan calon yang kalah
hanya bisa meratapi, dengan mendengarkan
quote-quote Super Mario Bross di
bawah pohon Serry.
Tidak seperti Pilkada Jakarta
yang mencuri perhatian seantero Indonesia, pemira UNJA hanya viral di kalangan anggota partai kampus
dan beberapa mahasiswa yang memiliki partisipasi aktif di dunia perpolitikan
kampus saja. Dari persepektif mata keranjang pakar politik KW9, Pemira UNJA tidak begitu
menggairahkan, kenapa? Karena calonnya
nggak ada yang segagah Bang Agus Harimurti, seganteng Om Sandiaga Uno, Setegas
Ko Ahok, dan sekomunikatif Mas Anies.
Dari kenyataan tersebut, saya
kok jadi ingin berandai-andai, berfantasi seandainya Nicholas Saputra alias si
Rangga alias calon suami saya, yang menjadi Presiden Mahasiswa UNJA. Sungguh
khayalan tingkat tinggi setinggi-tingginya. Eh tapi jangan salah loh ya, Mengkhayal adalah kemewahan di
Indonesia. Pada zaman Orde Baru, bermimpi saja dilarang. Jangan mengkhayal!
Begitu terdengar larangan di mana-mana. Anak kecil, orang tua, pria dan wanita
tidak boleh melamun. Kecuali, barangkali kalau ada izin. Pada masa itu
(1996-1998) segala sesuatu perlu izin. Bikin Koran perlu izin, kencing perlu
izin, bahkan bernafas pun perlu izin. Kabar terakhir, sebelum Jendral Soeharto
berhenti, banyak orang ke Singapura hanya untuk periksa gigi. Masalahnya, di
Indonesia orang tak bebas buka mulut. Lah ini kenapa jadi ngomongin Pak Harto?
Memangnya dia Kakeknya si Rangga apa.
Eh sebelumnya saya mau bilang, kalau Rangga dan Nicholas Saputra itu sama saja bagi saya. Hanya Nicholas Saputra yang pantas menjadi Rangga. Saya nggak bisa bayangin kalau yang jadi Rangga itu Azis Gagap, Yanglek atau Sule. Wah karakter Rangga bisa dibully sepanjang hidupnya.
Eh sebelumnya saya mau bilang, kalau Rangga dan Nicholas Saputra itu sama saja bagi saya. Hanya Nicholas Saputra yang pantas menjadi Rangga. Saya nggak bisa bayangin kalau yang jadi Rangga itu Azis Gagap, Yanglek atau Sule. Wah karakter Rangga bisa dibully sepanjang hidupnya.
Nah biar khayalan saya agak bekualitas, maka saya
uraikan sebab akibat seandainya Nicholas Saputra jadi Presiden Mahasiswa UNJA. Ini
hasil survei dari Ikatan Pecinta Nicholas Saputra dari Buaian Hingga ke
Liang Lahat.
Menekan Angka Golput
Sosok Rangga menjadi justifikasi pria
ideal yang tak jarang hampir selalu menjadi pujaan. Kombinasi wajah tampan,
kesan raut muka karakter Rangga yang keren dan cenderung dingin, namun memiliki
sifat sangat kritis, cerdas dan romantis seolah menjadi sebuah kombinasi
sempurna untuk menyebut Rangga adalah pria brengsek yang dicintai dan dipuja.
Kalau sudah begitu, siapa sih perempuan
yang bisa mendustai kharismanya. Oleh karena itu, saya yakin tingkat
partisipasi di Pemira UNJA angkat meningkat tajam, setajam kata-kata mantan.
Logikanya kalau tidak bisa menjadikan Rangga
sebagai kepala rumah tangga, ya menjadikan dia sebagai kepala di Badan
Eksekutif Mahasiswa jadilah. Jangankan
mahasiswi. Ayuk-ayuk kantin pun seandainya punya hak suara, pasti bakalan milih
Rangga.
Penikmat
puisi dan penggagum Chairil Anwar
Tidak semua pria pintar mengarang dan
menulis puisi loh ya, dan biasanya pria berjiwa seni selalu menarik di mata
Kaum Hawa. Nah kalau si Rangga yang jadi Presiden Mahasiswa, dia akan merubah
cara menolak kebijakan pemerintah atau kampus dengan cara yang lebih
berestetika. Berdemo dengan indah melalui untaian puisi, seperti Wiji Thukul.
Eh saya nggak bilang yang demo bakar-bakar ban, “senggol-senggolan” dengan
aparat dan bikin macet jalan, itu salah loh ya. Hanya saja ada cara yang lebih
elegan dalam mempertanyakan keadilan, salah satunya dengan bersastra. Ya
menyuarakan keadilan juga bisa lewat sastra, karena sastra adalah setiap upaya untuk menggali suara dari
nurani melalui bahasa. Saya percaya bahwa kekuatan sebuah tulisan dalam
mempengaruhi pikiran orang dan sekarang pun saya lebih percaya lagi jika sastra
punya kekuatan besar untuk mempengaruhi jiwa dan pikiran orang.
Ganteng
tapi tak banyak bicara
Orang itu berbeda-beda. Ada orang yang “camera face” atau orang yang sangat
indah di kamera. Di kamera bagus tapi aslinya biasa. Di kamera kayak Yati
Octavia begitu keluar kayak Yati Pesek. Di kamera secakep Jeremy Thomas,
aslinya kayak Jeremy Teti. Lalu ada orang yang “Microfonis”, ini biasanya penyiar radio. Suara merayu, wajah
menipu. Saya kasih tau ya, yang suaranya bagus-bagus biasanya wajahnya kurang
menguntungkan.
Nah sedangkan si Rangga, sudah ganteng di dunia
nyata, dunia maya, dan dunia gaib. Suaranya bikin hati perempuan dan es di
Kutub Utara meleleh.
Lalu apa hubungannya dengan posisi Presiden
Mahasiswa? Ini masalah etika Jok. Sekali lagi soal ETIKA. Jarang loh pria
ganteng tapi tak banyak bicara. Seringnya itu ganteng, manis,
nyegerin tapi benihnya ada di mana-mana, udah gitu gak mau diajak susah bareng
lagi. Duhh tolong ya, yang seperti itu
musnahkan saja dari galaksi Bima Sakti ini.
Astaga malah jadi cuhat. Intinya, bangga dong punya presiden mahasiswa yang
etikanya baik.
Meneladani
Zumi Zola
Walaupun
sering terkena kabut asap, saya tetap bangga menjadi warga Jambi. Kenapa?
Karena gubernurnya paling ganteng sejagat raya. Nah karena Bapak gubernur kita
ganteng luar dalam(?), sudah seharusnya Universitas Jambi juga turut
mengaplikasikannya dengan memiliki seorang Presiden Mahasiswa yang 11-12 sama
Mr ZZZ. Ya walaupun dari analisa saya, agak susah jika harus menentukan siapa
yang lebih ganteng, senyum siapa yang lebih mempesona, Rangga atau Zumi Zola?
Ahh sungguh suatu analisa dari mata turun ke birahi hati sekali.
Pesan
moral dari poin ini: Semoga prestasi memimpinnya juga seganteng wajahnya.
BEM Makin laris manis
Banyak
alasan kenapa seorang mahasiswa memilih menjadi anggota BEM. Belajar
beroganisasi, dak ado gawean, modusin senior, atau cuma nebeng nama saja. Seandainya
Rangga jadi Presiden Mahasiswa UNJA, saya yakin 69% peminat BEM makin bertambah
dan didominasi oleh Kaum Hawa yang ingin berkenalan dengan Pak Presiden. Kan
seperti kata pepatah; tak kenal maka tak sayang, mau kenalan digampar
pacar. Eh ngomong-ngomong kenapa keyakinan saya hanya 69%? Nggak papa sih, suka
aja sama angka 69.
Setelah ngota dan beriimajinasi
panjang lebar, saya baru sadar kalau si Rangga itu kan masih anak SMA. Baru
mimpi basah sikok duo kali. Masak iya mau jadi kepala mahanya siswa. Ahh tapi
ya sudahlah. Pemira UNJA juga telah berlalu. Nasir sudah menjadi
tukang bubur. Dan dengan segala kemanisan dan kekaleman, saya ucapkan selamat
kepada pasangan yang terpilih. Selamat beraksi ketika harga cabe naik dan harga
resleting karet turun. Selamat menyelenggarakan kegiatan seminar
beasiswa, seminar kewirausahaan, seminar kepemimpinan. Dan selamat melaksanakan
. . . eh apa lagi sih tugas dan wewenang BEM? Setahu saya selama ini yang cuma “itu”
be lah.
Mari
sama-sama kita ikut andil untuk kemajuan Kampus Pinang Masak tercinta. Berat
sama dipikul, ringan sama dijinjing, sama-sama berat mending dipaketin lewat
JNE aja. Mohon dimaklumi jika tulisan saya penuh dengan delusi dan jauh dari
kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Saya bukan manusia sempurna, sehingga merasa tidak
pantas menggunakan EYD, ejaan yang sudah disempurnakan. Terakhir saya ingin
berpesan ala ala Datuk Socrates. Sebuah
pesan untuk diri saya sendiri dan rekan-rekan yang hidup di dua alam,
alam nyata dan alam angan-angan.
“Fantasi akan harapan yang terlalu tinggi
menyelimuti hidupmu. Hati-hati lho, terlalu berekpektasi itu sakit. Ya, sakit
jiwa”.
NB: Tulisan ini pernah dimuat di Ngota