Minggu, 17 Mei 2015

“Cabe-cabeannya”, bikin si penggalau lupa diri



Apakah aksara dan angka bisa menjelaskan rasa nikmat? Pertanyaan itulah yang pertama kali “mampir” di pikiran saya saat sesuap nasi yang bercumbu mesra dengan gurihnya daging serta dipoles merah memikatnya sambal bertemu dengan lidah. 
Ambooiiiii . . sepiring nasi dengan lauk  Dendeng Batokok Kerinci sukses membuat makan siang saya begitu “menakjubkan”. Padahal sebelum datang ke rumah makan Pusako Bungo, suasana hati saya tengah diliputi kegalauan yang amat sangat mengharukan.
Ajaib! Setelah sesuap nasi berhasil menggetarkan lidah, rasa galau langsung sirna seketika berganti dengan semangat yang membara dan menggelora untuk menikmati santapan dengan sejuta rasa ini.
Di Indonesia yang merupakan negeri “sedapnya sedap”, terhitung ada beberapa macam dendeng, di antaranya ada dendeng balado, dendeng batokok, dendeng lambok, dan dendeng baracik.  
Dendeng batokok sendiri menjadi dendeng yang paling populer selain dendeng balado. Tak hanya dikenal di Sumatera Barat, dendeng batokok juga menjadi kuliner khas daerah Kerinci, Jambi.
Biasanya warung makan yang menyediakan jenis kuliner ini akan menyebut langsung dendeng batokok dalam papan namanya. Disebut “batokok” karna dalam proses memasaknya, daging yang sudah direndam di dalam bumbu dipukul-pukul dengan palu, alias ditokok, kemudian daging diiris dengan ketebalan sekitar 1 cm. Lalu ditokok kembali agar seratnya pecah dan daging menjadi lebih tipis dan leba.  
Proses tersebut semakin membantu bumbu meresap ke dalam serat daging. Selanjutnya daging dibakar di atas bara arang tempurung kelapa, lalu dilumuri minyak kelapa. Ini nih jadinya :)






Aroma asap yang tertinggal dalam tiap lembar dagingnya dijamin bikin ketagihan. Terlebih aneka sambal yang tersedia, mulai dari sambal hijau anti galau, sambal merah yang digiling kasar dan berlinang-linang karena minyak, dan sambal merah yang digiling halus,  sukses mencuri perhatian karena rasa pedasnya yang “aduhai”. Setidaknya itulah yang saya rasakan.
Dua piring nasi dengan nikmatnya dendeng, berpindah ke perut saya. Selidik punya selidik, nasi yang saya makan juga salah satu sebab kenapa nafsu makan saya begitu meledak-ledak.
Ternyata beras yang digunakan adalah “beras payo” yang merupakan beras khas dari Kerinci. Ukuran butirnya kecil-kecil, teksturnya pulen dan rasanya tidak begitu manis.  
Soal harga tak usah risau, sepiring nasi dengan satu buah dendeng yang berpadu dengan terong goreng, rebusan daun singkong dan lalapan timun hanya “bermahar” Rp 10.000 sangat terjangkau untuk kalangan anak kos yang biasanya "terseok-seok" di penghujung bulan.
Tidak ada alasan untuk tidak member prediket “mak nyuss” untuk kuliner yang satu ini. Walaupun lidah berkelit, tapi rasa di hati tidak pernah berdusta. Dan pada akhirnya, kuliner ini lengket dan terpahat di pikiran saya untuk selamanya.
Selamat berpetualang rasa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis