Apakah aksara dan angka bisa menjelaskan
rasa nikmat? Pertanyaan itulah yang pertama kali “mampir” di pikiran saya saat
sesuap nasi yang bercumbu mesra dengan gurihnya daging serta dipoles merah
memikatnya sambal bertemu dengan lidah.
Ambooiiiii . . sepiring nasi dengan lauk
Dendeng Batokok Kerinci sukses membuat makan siang saya begitu
“menakjubkan”. Padahal sebelum datang ke rumah makan Pusako Bungo, suasana hati
saya tengah diliputi kegalauan yang amat sangat mengharukan.
Ajaib! Setelah sesuap nasi berhasil
menggetarkan lidah, rasa galau langsung sirna seketika berganti dengan semangat
yang membara dan menggelora untuk menikmati santapan dengan sejuta rasa ini.
Di Indonesia yang merupakan negeri
“sedapnya sedap”, terhitung ada beberapa macam dendeng, di antaranya ada
dendeng balado, dendeng batokok, dendeng lambok, dan dendeng baracik.
Dendeng batokok sendiri menjadi dendeng
yang paling populer selain dendeng balado. Tak hanya dikenal di Sumatera Barat,
dendeng batokok juga menjadi kuliner khas daerah Kerinci, Jambi.
Biasanya warung makan yang menyediakan
jenis kuliner ini akan menyebut langsung dendeng batokok dalam papan namanya.
Disebut “batokok” karna dalam proses memasaknya, daging yang sudah direndam di
dalam bumbu dipukul-pukul dengan palu, alias ditokok, kemudian daging diiris
dengan ketebalan sekitar 1 cm. Lalu ditokok kembali agar seratnya pecah dan
daging menjadi lebih tipis dan leba.
Proses tersebut semakin membantu bumbu meresap
ke dalam serat daging. Selanjutnya daging dibakar di atas bara arang tempurung
kelapa, lalu dilumuri minyak kelapa. Ini nih jadinya :)
Aroma asap yang tertinggal dalam tiap lembar
dagingnya dijamin bikin ketagihan. Terlebih aneka sambal yang tersedia, mulai
dari sambal hijau anti galau, sambal merah yang digiling kasar dan
berlinang-linang karena minyak, dan sambal merah yang digiling halus, sukses
mencuri perhatian karena rasa pedasnya yang “aduhai”. Setidaknya itulah yang
saya rasakan.
Dua piring nasi dengan nikmatnya dendeng,
berpindah ke perut saya. Selidik punya selidik, nasi yang saya makan juga salah
satu sebab kenapa nafsu makan saya begitu meledak-ledak.
Ternyata beras yang digunakan adalah
“beras payo” yang merupakan beras khas dari Kerinci. Ukuran butirnya
kecil-kecil, teksturnya pulen dan rasanya tidak begitu manis.
Soal harga tak usah risau, sepiring nasi
dengan satu buah dendeng yang berpadu dengan terong goreng, rebusan daun
singkong dan lalapan timun hanya “bermahar” Rp 10.000 sangat terjangkau untuk
kalangan anak kos yang biasanya "terseok-seok" di penghujung bulan.
Tidak ada alasan untuk tidak member
prediket “mak nyuss” untuk kuliner yang satu ini. Walaupun lidah berkelit, tapi
rasa di hati tidak pernah berdusta. Dan pada akhirnya, kuliner ini lengket dan
terpahat di pikiran saya untuk selamanya.
Selamat berpetualang rasa!
Selamat berpetualang rasa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar