Senin, 18 Mei 2015

Ada Cerita di Semarang (Di Kereta Api Gumarang)

           


     
Perjalanan belum usai,,, Semarang masih belum nampak di letihnya mata sayu ini. Ia masih ratusan  bahkan ribuan kilometer lagi dari Jakarta. Niat hati sebenarnya ingin terus mengudara melalui ribuan jarak ke kota Semarang dengan sang burung besi,, tapi apa daya, anggaran tak mengizinkan :D ehhh tapi walaupun begitu tak menjadi masalah, toh hitung-hitung bisa menjadi pengalaman baru,kapan lagi coba gadis manis nan kalem dari Kayu Aro naik-naik kereta api. :D

Berada di stasiun Senen Jakarta aku merasa seperti telah berada di Semarang, iya Semarang. Gimana enggak coba, kebanyakan orang yang aku temui dari supir taxi, calo tiket, petugas keamananan, kebersihan, dan penumpangnya ngomongnya “Jowo kabeh”  :D

Setelah mengantri tiket kami duduk-duduk seperti anak ayam kehilangan teman-teman bergosipnya, benar-benar terlihat seperti perantau yang pertama kali datang ke kota besar, letih, lesu, lemah, muka pucat, keringat dingin, ahh intinya kelaperan lah semuanya :D Untung saja ada Indomaret yang berada di sekitar stasiun, ajaib ya di sekitar stasiun ada Indomaret, saya pikir cuman ada di Mendalo aja :D

Singkat cerita akhirnya kami berhasil merampok Indomaret dengan penuh pengorbanan, hasilnya yaa lumayan ,,, satu bungkus roti tawar dan satu sachet susu cair cokelat, berhasil menenangkan sejenak demo besar-besar’an seperti protes kenaikkan harga bbm di perut kami *apaan sih :D

Kata Mbak Calo yang sempet aku tanyain, perjalanan dari Jakarta menuju Semarang ditempuh dengan waktu sekitar 6 jam, yaa paling molor 1 jam-an lah. Mengingat waktu tempuh yang lumayan lama, akhirnya kami memutuskan untuk membeli nasi bungkus untuk bekal di kereta, soalnya harga makanan di kereta itu mehong-mehong teman *kan masalah dana lagi :D Akhirnya Kak Icha dan Isma yang bertugas membeli nasi bungkus, aku dan Dhila bertugas menjaga koper-koper orang Jambi *ciyee orang Jambi  :D

Waktu keberangkatan semakin dekat, tapi Kak Icha dan Isma belum kembali-kembali juga. Gilaa,,,hatiku mulai cemas tak menentu, memikirkan takdir yang terkadang entahlah ini ,, Ahh kayaknya Kak Icha sama Isma beli nasi bungkusnya di Uni Baru deh :D Kembali terdengar  suara petugas yang mengingatkan bahwa kereta gumarang tujuan ke Semarang hampir tiba dan penumpang diharapkan untuk bersiap-siap. Ahh sibuk banget sih itu petugas, gak tau apa pasukan belum lengkap.

Akhirnya di sisa-sisa waktu terakhir Kak Icha dan Isma datang juga, langsung saja kami ngegolin di menit-menit terakhir eh maksudnya langsung saja kami bergerak menuju kereta. Ahh rupanya kami dihadang oleh petugas stasiun yang roman-romannya ingin memodusin kami, dalam hati aku mengumpat sejadi-jadinya “ahh sudahlah Mas, ini waktu genting, please jangan modusin kami dulu” ehh ternyata ini area pemeriksaan KTP, prosedur mengharuskan semua wajib melihatkan KTP sebelum naik kereta,, ahh ternyata,,, udah ge’er padahal :D

Setelah semua selesai, kami hanya tinggal menunggu kereta datang, hari ini suasana stasiun cukup rame , sepintas terlihat lumayan banyak penumpang yang akan pergi ke Semarang dan sekitarnya. Sayup-sayup mulai terdengar suara bising nan menghebokan dari kejauhan, suaranya hampir sama dengan motor vespa yang sempat Ayahku milikki, namun harus direlakan karna kejamnya Ibuku *kan urusan RT dibawak :D beberapa detik kemudian kereta mulai terlihat memasuki stasiun dan haaappp,, berhenti tepat di hadapanku,, Sumpah ini pertama kalinya aku  melihat kereta api secara langsung,, ternyata panjang ya,, odong-odong gak ada apa-apanya deh :D

Aku mulai mencari-cari kursiku, tengok kanan, tengok kiri, yakkk akhirnya ketemu ,, horeee :D:D tapi tiba-tiba nyaliku menciut saat melihat tempat duduk yang sebagian telah terisi. Di kereta Gumarang ada 2 kursi yang saling berhadapan dan gilaa 1 kursi diisi oleh 3 orang, dan lebih gila lagi ternyata kursi-kursi disekelilingku penghuninya adalah cowok semua, dan makin gila lagi aku duduknya di tengah, dan tambah gila kok kursiku udah ada yang duduk di situ sih.

Aduhh langsung gak enak hati rasanya, sempat kepikiran pengen duduk gelar koran di lantai aja, atau berdiri dengan manisnya  sampai kota Semarang, atau loncat aja dari jendela dan balik lagi ke Jambi :D tapi untunglah hatiku masih sempat berfikir dengan jernih, dan akhirnya dengan memberanikan diri aku menghampiri mereka,dan memulai percakapan yang sampai sekarang masih terekam dengan jelas.

A = Aku, Ms = Mas Songong
A : Maaf mas, boleh saya duduk di no 14 ? soalnya di tiket dicantumkan kalau  kursi ini punya saya
Ms : Oh iya ya,,, ya udah duduk ! *nada sengak, berpindah tempat
A : Mas, bisa tolong pindahan koper saya ke atas gak?
Ms:  Gak bisa, lihat tuh di atas udah penuh! *semakin sengak, nengok ke atas
A: Oh ya udah deh *nahan marah, pasrah

Begitulah sekilas percakapan yang harusnya dilupakan, tapi entah kenapa malah menjadi yang paling diingat sampai sekarang. Ahh menyakitkan L
Di balik kesusahan pasti ada kemudahan. Di balik derita atas perlakuan Mas Songong pasti ada keajaiban dari Allah SWT. Demi apa coba tempat duduk di sebelahku kosong,  jadinya bisa untuk narok koper deh, Alhamdulillah, terimakasih ya Allah telah menolong hamba-Mu yang teraniaya ini.

Kereta Gumarang perlahan-lahan mulai melaju, yeahhh perjalanan dimulai,,,, beberapa saat di kereta aku masih canggung dengan semuanya,,, jadi yang aku lakukan adalah menjadi wanita paling kalem dan menatap jendela kereta, menikmati pemandangan yang berlalu dengan berkesannya.

Terhitung ada 4 orang laki-laki di sekelilingku, di sebelah kiriku ada laki-laki yang sepertinya korban K-pop karena gayanya mirip Boyband yang sebut saja namanya Mas Cucok *selidik punya selidik dia adalah tukang make up artis FTV jadi agak gimana gituu gayanya cynnn :D kemudian di depan Mas Cucok ada Pak Rame *Dia yang paling rame alias seneng cerita, dan di sebelah Pak Rame ada Mas Bogor *sebenarnya orang Jawa tapi kelamaan tinggal di Bogor, dan di sebelahnya Mas Bogor ada... ahhh males banget saya nyebutinnya,,, ada Mas Songong, iya Mas Songong *sumpah terpaksa nyeebutin :D

Beberapa menit berlalu, dan beberapa jarak telah berhasil ditempuh. Aku masih tetap saja menjadi wanita kalem dan pendengar cerita-cerita dari Pak Rame, Mas Cucok dan Mas Bogor. Tapi ternyata gak enak ya jadi wanita kalem terus, pengen gabung cerita ahh, bosen diem terus, akhirnya aku mulai masuk ke percakapan mereka dengan pura-pura bertanya, ahh rupanya mereka bertiga sangat welcome denganku,,, dengan senang hati mereka mempersilahkanku masuk ke dalam cerita-cerita mereka.

Entah karena aku bergolongan darah O  yang katanya mudah berbaur, berteman, entah karena aku emang orangnya mudah akrab dengan semua golongan terutama Bapak-Bapak :D  Akhirnya gak pakek lama-lama lagi obrolan kami ber-empat berhasil tercipta,pokoknya udah seperti talkshow saat weekend :D

Sangat banyak hal-hal yang kami obrolkan, mulai dari tempat-tempat yang kami lewati, tentang pekerjaan, kondisi Jakarta, kondisi keluarga, ahh terlalu banyak untuk disebutkan lah :D Aku sendiri juga menceritakan tentang asalku yang dari Sumatera, Jambi tepatnya yang cukup membuat mereka shock “Hah,, jauh banget Mbak sampai ke Semarang”, lalu aku juga menceritakan tentang asal-asalku yang sebenarnya orang Jawa tapi karna takdir akhirnya nyungsep di Sumatera. Mereka bertiga*Mas Songong gak, sepertinya cukup interest dengan aku,, ehh maksudnya ceritaku :D

Senang rasanya bisa bertemu dengan mereka-mereka, selain sebagai kawan perjalanan yang baik mereka juga banyak memberikanku hal-hal baru, pengalaman dan pandangan baru tentang berbagai hal. Sepanjang perjalanan sudah tak terhitung berapa kali aku tertawa, entahlah cerita Pak Rame luar biasa kocaknya. Terlebih saat beliau bercerita tentang orang Madura yang menyemen dinding rumahnya dengan kotoran sapi yang dicampur dengan kapur.

Aku cukup kaget dan langsung tertawa cekikikan mendengarnya. Saat itu yang pertama kali aku pikirkan ahh betapa baunya coba kotoran sapi itu, masak iya dijadikan pelapis dinding pengganti semen, dicampur sama kapur tulis lagi, aduuhhh gokil mament :D Nah setelah diberi penjelasan oleh Pak Rame aku baru mengerti,, ternyata kotoran sapinya sudah tidak bau lagi, dan kapurnya bukan kapur tulis tapi batu kapur. Ahh aku jadi kagum dengan inovasi yang dilakukan orang Madura, mereka kreatif, benar-benar kreatif. Salut sekali.

Mas Cucok bilang aku kurang beruntung melakukan perjalanan pada malam hari karna tidak bisa melihat birunya laut di Tegal yang katanya bersebelahan banget dengan rel kereta api, bahkan kata Pak Rame saking dekatnya kalau ada tsunami kereta pun akan terkena, ikutan hanyut juga *duuhh amit-amit deh.

Cukup penasaran sebenarnya melihat laut yang katanya benar-benar dekat ini, tapi tidak apa-apalah bisa bertemu kalian juga sudah merupakan keberuntungan yang tak terbantahkan.

Kereta Gumarang masih melaju dengan enaknya, dan kami masih terus mengobrol dengan semangatnya. Tiba-tiba saja Pak Rame melihat ke luar jendela, beliau berkata bahwa ini laut yang di Tegal. Kontan saja aku yang terbilang jarang melihat laut ini langsung beranjak dari tempat duduk dan melihat ke luar jendela. Dan ternyata gelap... pekat tidak terlihat apa-apa *kan malem  :D

Sejurus kemudia Mas Cucok bilang kalau Pak Rame itu ngawur, orang sungai masak dibilang laut, kontan saja semuanya tertawa termasuk aku, “Ahh Bapak, mentang-mentang saya orang Sumatera trus main tipu-tipu aja, masak kali dibilang laut sih” kataku dengan expresi mrengut :D

Beberapa kota telah dilalui, dan Semarang masih cukup jauh dari pandangan, sejujurnya mulutku masih semangat 45 untuk mengobrol tapi rupanya mataku tidak,, ia protes, ia lelah, ia minta beristirahat sejenak, ia capek diphp’in senior *loh kok . Ya sudah dengan bersandar di koper aku mulai memejamkan mata, mencoba tertidur di alunan nada rel. Sayup-sayup masih terdengar suara Pak Rame. Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa . . .

Mungkin ada beberapa menit aku tertidur, lumayan membuat mataku berhenti protes. Dan sekarang yang protes adalah perutku, meminta diisi BBM sepertinya :D wajar sih kalau aku kelaparan, karna terhitung aku baru makan nasi satu kali pas mau pergi ke bandara, itupun makannya di kantin bude kesayangan, dan makan beberapa suap roti di stasiun.

Akhirnya aku berpindah ke kursi belakang tempat duduk Dhila yang membawa nasi bungkus. Kami ber-empat,pasukan orange mulai makan.. satu suap, dua suap telah berpindah ke perut, kalau boleh berkomentar nasi bungkus khas Padang dengan menu ayam bakar ini kebanyakan lemon sepertinya :D hahaha rasanya asemmm coyy nasinya,,, udah basi gitu bahasa umumnya :D

Sehabis makan aku kembali lagi ke kursi, eh rupanya koperku menghilang, tidak ada di kursi lagi, Ya Tuhan apa yang terjadi, ahh telah berpindah ke atas ternyata. Kulihat seorang Bapak-bapak separuh baya duduk di kursi itu, aku tersenyum sejenak kepadanya saat akan duduk.

“Neng mau ke mana tujuannya” Tanya sang Bapak dengan logat Sundanya yang kental. Ahh kalau orang Sunda berarti asalnya dari Medan ini :D   Ngawurr ahh masak orang Sunda asalnya dari Medan, marah nanti orang Kalimantan *nahh :D
     “Saya mau ke Semarang Pak,  Bapak mau ke mana?” Jawabku dengan logat sok kesunda-sundaaan.
     “Bapak mau ke Surabaya neng, nengok anak Bapak di sana”
     “Oh,, anaknya kuliah di sana ya Pak?”

Pertanyaanku rupanya mengawali obrolan kami berdua. Beliau mengatakan bahwa anaknya sudah kerja di sana, dan dulu waktu SMA anaknya adalah siswi berprestasi, sempat akan mendapatkan beasiswa bidikmisi namun karena telat sehari menyerahkan berkas, jadilah beasiswa tinggal kenangan. Namun karena anaknya cukup pintar akhirnya setelah tamat SMA anaknya diterima bekerja di sebuah Bank.

Singkat cerita dalam masa-masa bekerja sang anak tergoda oleh seorang laki-laki yang bekerja di Bank yang berbeda. Mengharukan, kisah cinta mereka terbentur regulasi bank yang mengharamkan  pegawainya berpacaran, Yaa namanya masa muda ya,, masa yang berapi-api, yang maunya menang sendiri, ya walaupun sudah dilarang mereka masih nekad untuk memadu kasih secara sembunyi-sembunyi, backstreet gituloh istilah kerennya :D

Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga kan kalau menginjak kulit pisang, nah begitu pun mereka, walaupun udah disembunyiin tetep aja deh ketahuan ama bosnya. Akhirnya mereka berdua dipecat . . . . *Tragis.

Meskipun sudah dipecat, kisah cinta mereka tetap berlanjut, berlanjut ke tahap pernikahan malahan. Tapi ternyata umur pernikahan mereka tidak lama,, faktor ekonomi lah yang membuat sang istri ingin cerai, singkat cerita mereka bercerai, sang wanita bekerja di Surabaya dan sekarang bapaknya ingin menengok. *jadi ngomongin orang :D

Cukup lama aku tertegun mendengar cerita Pak Sunda, entah kenapa berjuta pikiran berkecamuk di otakku. Tiba-tiba aku merasa anti dengan nikah muda*bukan anti nikah yak :D “Kuliah dulu yang benar, lulus dengan predikat memuaskan, lanjut S2, kerja dengan upah tinggi, nyekolahin adik-adik, renovasi rumah orang tua, naik hajiin orang tua,  baru nikah dan punya anak” gak tau dapat ilham dari mana, mendadak aku mulai mengkonsepkan dan membuat skenario jalan hidupku selanjutnya. Ahh benar-benar efek si Bapak :D

Waktu terus berjalan tanpa disuruh, tak terasa Kota Semarang sudah di depan mata, sebentar lagi aku akan menginjakkan kaki di kota yang terkenal dengan lumpianya ini. Ahh lega,akhirnya sampai juga. Tapi tak bisa dipungkiri kalau sebenarnya aku masih enggan untuk beranjak dari kereta ini, kecerian dengan mereka telah sukses menghipnotis aku untuk berlama-lama lagi di kereta ini. Tapi setiap pertemuan pasti ada perpisahan dan setiap perpisahan tentu diawali dengan pertemuan.

Kereta Gumarang berhenti di Stasiun Tawang, Semarang, dengan sigap Mas Bogor menurunkan koperku, aku berpamitan kepada mereka semua yang masih harus melanjutkan perjalanan sambil berharap semoga suatu saat bisa bertemu lagi. Masih ingat betul ucapan perpisahan dari mereka yang diwakili oleh Mas Bogor “Hati-hati ya Mbak, pokoknya harus ketemu lagi kita, selekas-lekasnya” Duhh mendengar itu terberai langsung hatiku, rasanya pengen kembali duduk ke kereta dan ikut mereka melanjutkan perjalanan ke Surabaya.
          Akhirnya dengan rela tak rela kulangkahkan kakiku keluar dari kereta, hatiku benar-benar merasa sepi,benar-benar ada yang hilang, ahh entahlah. Di luar, aku masih sempat melemparkan pandangan ke mereka, darikaca  jendela kereta yang basah masih terlihat sekilas wajah mereka.

“Hati-hati, semoga suatu saat jalan kita bersinggungan, untuk sekedar kembali merangkai dagelan di panjangnya rel kereta api. Terimakasih telah menjadi teman perjalanan yang baik bagi gadis manis dari Negeri Berkabut, Jambi yang paling ujung”

Nb :
*Tulisan ini dibuat karena sang penulis lagi kangen dengan semua hal yang mengingatkan tentang Semarang
*Nama tokoh-tokoh memakai inisial karena sang penulis tidak tahu nama asli mereka ( Terlalu bersemangat cerita jadi lupa kenalan)
*Walaupun terlihat berlebihan, semua cerita ini berdasarkan pengalaman nyata, tidak ada yang dilebih-lebihkan (Mungkin penulisnya aja yang alay)

Untaian Doa-doa Berangkaikan Al-Fatihah untuk Almarhum Kakek Sayang (Salam Rindu, Mbah)


  

Mbah Kon, itulah panggilanku dan beberapa saudara yang lain padanya. Ia adalah Ayah kandung dari Ibuku. Kami tinggal serumah, tak heran jika ikatan emosionalku benar-benar kuat dibandingkan dengan cucu-cucunya yang lain. Itu yang terkadang membuat saudara-saudaraku yang lain merasa iri.

Ia adalah seorang veteran pejuang. Sejak kecil ia selalu bercerita kepadaku tentang pengalamannya berperang melawan Belanda dan Jepang. Tentang bagaimana gigihnya perjuangan tentara Indonesia saat bertahan di hutan selama berhari-hari tanpa makanan.

Kepada cucunya, ia selalu mengingatkan agar kami tak pernah lupa menghargai jasa para pahlawan. Mereka dengan ikhlasnya telah berkorban banyak demi kemerdekaan Indonesia. Tanpa mereka semua sampai sekarang mungkin Indonesia masih menjadi negara jajahan Belanda atau Jepang.

Ya sebuah pesan klise yang juga selalu kudengar dari guru di sekolah. Pesan yang akan kuabaikan saja. Ketika itu tentu saja, kalau sekarang beda cerita.

Aku masih teringat jika setiap tanggal 17 Agustus, ia dengan semangatnya bersiaga di depan TV dari pagi agar tak ketinggalan upacara pengibaran bendera Merah Putih di Istana Merdeka. Ia tak berkedip saat menyaksikan acara demi acara. Jangan harap ia akan menoleh saat kamu panggil.

Ia begitu fokus, mata tuanya terus menatap layar TV tanpa menoleh ke kanan-kiri. Ketika  sang Saka Merah Putih tengah dikibarkan, mata tua itu seketika menitikan air mata. 

Saat itu aku tak paham kenapa ia bisa secengeng itu hanya karena melihat pengibaran bendera. Toh aku setiap hari Senin juga  selalu melihat pengibaran bendera ketika upacara di sekolah, tapi tidak pernah aku sampai menangis. Dan kini aku baru mengerti kenapa Mbah Kon yang segagah itu bisa menangis hanya karena sebuah bendera.

Kenanganku juga kerap melayang di masa silam. Masih teringat ketika ia menggendong dan mengajakku melihat lalu lintas mobil di pinggir jalan. Aktifitas yang kerap dilakukan ketika Ibu sedang wirid atau mengikuti kegiatan PKK.

Aku juga merindukan saat-saat tidur bersamanya. Biasanya ketika dimarahin oleh Bapak, aku selalu kabur ke kamarnya, lalu menangis terisak-isak hingga tertidur sendiri di sampingnya.

Mbah Kon adalah motivator sarkas terbaik sepanjang hayat. Ketika aku tidak mendapatkan rangking di SD, ia selalu berkata ,“Juara itu nggak penting ndok, gak bisa dimakan, yang penting itu jadi wong jujur kayak Kakek ini. Percuma kamu dapat ranking tapi sering bohong”.

10 Oktober 2008, sungguh tanggal yang paling  kubenci sampai sekarang. Pasalnya ada beberapa hal menyakitkan yang terjadi di tanggal itu, salah satunya adalah hari kematian Mbah Kon. Ia memang mempunyai riwayat penyakit paru-paru dan pernah beberapa kali opname di Rumah Sakit. Tapi tetap saja kepergiannya adalah hal yang tak terduga.

Beberapa hari setelah hari raya Idul Fitri, Nenek mengeluh sakit di kaki sehingga ia tak bisa berjalan. Berbagai obat dari yang tradisional, alternatif dan medis belum mampu menyembuhkan sakit kaki Nenek. Ia pun hanya bisa terbaring di rumah.

Hari berlalu, sakit Nenek berangsur membaik. Pada hari Rabu, Mbah Kon mengeluh tidak enak badan dan seharian berbaring di kamar. Di hari Kamis, kondisi kesehatannya kembali membaik dan sudah berjalan-jalan ke luar rumah.

Namun, tak disangka-sangka, Jum’at dini hari, ketika semua sedang tertidur, aku reflek  terbangun karena mendengar suaraNnenek dari kamar Mbah Kon. Masih secara reflek  aku langsung bergegas menuju ke kamar Mbah Kon. Rupanya kedua orangtuaku juga terbangun. Sungguh saat itu firasat buruk benar-benar menguar pekat.

Benar saja, ketika tiba di kamar Mbah Kon, Nenek langsung berkata “Mbah Kon wes pergi”. Pada saat itu, aku merasakan perasaan yang belum pernah kualami sebelumnya. Kehilangan, kesedihan, kepedihan yang begitu dalam. Aku hancur-sehancurnya. Kematian benar-benar dapat memutuskan kebahagiaan seseorang dalam sekejap saja. Membuatku nelangsa setengah mati.

Hingga detik ini,  masih ada sedu sedan dan isak tangis setiap aku mengenangnya. Tak terhitung seberapa kuat rasa rindu ini. Tapi mau tak mau aku harus paham, tak akan ada penawar dan usainya jika merindukan seseorang yang pergi karena kematian.

“Mbah Kon, Al-Fatihah untukmu. Ditinggalkan memang selalu menyakitkan, apalagi dalam rentang waktu selamanya. Rasanya tak lengkap lagi menjalani hari-hari di bumi. Tapi hidup dipaksa harus terus berjalan meski penuh dengan tangisan. Sampai bertemu di kehidupan selanjutnya, Mbah. Aku yakin, Mbah sudah tenang di surganya Allah SWT. Aku merindukanmu. Selalu.”

Minggu, 17 Mei 2015

“Cabe-cabeannya”, bikin si penggalau lupa diri



Apakah aksara dan angka bisa menjelaskan rasa nikmat? Pertanyaan itulah yang pertama kali “mampir” di pikiran saya saat sesuap nasi yang bercumbu mesra dengan gurihnya daging serta dipoles merah memikatnya sambal bertemu dengan lidah. 
Ambooiiiii . . sepiring nasi dengan lauk  Dendeng Batokok Kerinci sukses membuat makan siang saya begitu “menakjubkan”. Padahal sebelum datang ke rumah makan Pusako Bungo, suasana hati saya tengah diliputi kegalauan yang amat sangat mengharukan.
Ajaib! Setelah sesuap nasi berhasil menggetarkan lidah, rasa galau langsung sirna seketika berganti dengan semangat yang membara dan menggelora untuk menikmati santapan dengan sejuta rasa ini.
Di Indonesia yang merupakan negeri “sedapnya sedap”, terhitung ada beberapa macam dendeng, di antaranya ada dendeng balado, dendeng batokok, dendeng lambok, dan dendeng baracik.  
Dendeng batokok sendiri menjadi dendeng yang paling populer selain dendeng balado. Tak hanya dikenal di Sumatera Barat, dendeng batokok juga menjadi kuliner khas daerah Kerinci, Jambi.
Biasanya warung makan yang menyediakan jenis kuliner ini akan menyebut langsung dendeng batokok dalam papan namanya. Disebut “batokok” karna dalam proses memasaknya, daging yang sudah direndam di dalam bumbu dipukul-pukul dengan palu, alias ditokok, kemudian daging diiris dengan ketebalan sekitar 1 cm. Lalu ditokok kembali agar seratnya pecah dan daging menjadi lebih tipis dan leba.  
Proses tersebut semakin membantu bumbu meresap ke dalam serat daging. Selanjutnya daging dibakar di atas bara arang tempurung kelapa, lalu dilumuri minyak kelapa. Ini nih jadinya :)






Aroma asap yang tertinggal dalam tiap lembar dagingnya dijamin bikin ketagihan. Terlebih aneka sambal yang tersedia, mulai dari sambal hijau anti galau, sambal merah yang digiling kasar dan berlinang-linang karena minyak, dan sambal merah yang digiling halus,  sukses mencuri perhatian karena rasa pedasnya yang “aduhai”. Setidaknya itulah yang saya rasakan.
Dua piring nasi dengan nikmatnya dendeng, berpindah ke perut saya. Selidik punya selidik, nasi yang saya makan juga salah satu sebab kenapa nafsu makan saya begitu meledak-ledak.
Ternyata beras yang digunakan adalah “beras payo” yang merupakan beras khas dari Kerinci. Ukuran butirnya kecil-kecil, teksturnya pulen dan rasanya tidak begitu manis.  
Soal harga tak usah risau, sepiring nasi dengan satu buah dendeng yang berpadu dengan terong goreng, rebusan daun singkong dan lalapan timun hanya “bermahar” Rp 10.000 sangat terjangkau untuk kalangan anak kos yang biasanya "terseok-seok" di penghujung bulan.
Tidak ada alasan untuk tidak member prediket “mak nyuss” untuk kuliner yang satu ini. Walaupun lidah berkelit, tapi rasa di hati tidak pernah berdusta. Dan pada akhirnya, kuliner ini lengket dan terpahat di pikiran saya untuk selamanya.
Selamat berpetualang rasa!

Ada yang Baru loh Gaesss

Pada Suatu Sore

Tulisan Paling Eksis