Adakalanya aku masih menyayangkan
keputusan besar yang kaupilih. Logika dangkalku tak mampu mencerna rencana
yang kau inginkan. Pada akhirnya semua terjadi, dan aku masih mencintaimu.
Aku begitu remuk ketika sayapmu perlahan-lahan
patah. Seperti ikutan terluka dan ngilu. Sayang, pelukku tak sampai ke ragamu –
dan juga takkan berarti apa-apa.
Harapan memang sedemikian berbahayanya. Mirip takdir yang kerap kali main-main pada perempuan bangsat; seperti kita.
Namun apakah kebahagiaan hanya dicipta bagi manusia tak bercela?
Pipiku basah tiap mengingat sakitnya
luka sebab jalan penuh duri yang harus kita lewati.Tetap berjalan sakit, diam juga
sakit, mundur apalagi. Kesakitan adalah satu-satunya pilihan yang kita punya.
Ingin sekali kugenggam tanganmu erat-erat, lalu membawamu kabur ke tempat yang paling nyaman – Tempat di mana tak ada apapun yang akan menyakiti kita
Namun tanganku juga patah, kakiku busuk. Langkah terseok-seok ini takkan mampu membawamu ke tempat paling nyaman itu. Dan mungkin tempat paling nyaman itu juga tidak pernah ada; hanya ada di isi kepala kita.
Aku masih mendoakanmu – mendoakan kita.
Jika doa kita pada ujungnya kalah di kehidupan kali ini, semoga akan menang di kehidupan lainnya. Pada saat itu, mungkin aku akan menjadi kupu-kupu, dan kau sebagai bunga yang cantik.
Semoga kita tidak
menjadi manusia lagi - karena kita tidak berbakat menjadi manusia yang bahagia.